Powered By Blogger

Minggu, 01 Juli 2012

tasawuf falsafi


TASAWWUF FALSAFI
Oleh: Maghfiroh
A.    Definisi Tasawwuf Falsafi
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Di dalam Tasawuf Falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. Kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil. Kaum sufi falsafi menganggap bahwasanya tiada sesuatupun yang wujud kecuali Allah, sehingga manusia dan alam semesta, semuanya adalah Allah. Mereka tidak menganggap bahwasanya Allah itu zat yang Esa, yang bersemayam diatas Arsy. Dalam Tasawuf Falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya, setidaknya terdapat beberapa istilah yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; Hulul, Wahdah Al-Wujud, al-Ittihad.
B.     Tokoh –Tokoh dan Ajarannya
1.      Abu Yazid al-bustami dan Ajaran fana’, baqa’, Ittihad
Abu yazid al-bustami, nama lengkapnya adalah Abu yazid taifur bin isa al-bustami. Ia lahir di Bistam, Persia, pada tahun 874 M, dan  meningga dalam usia 73 tahun. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan fana’ dan baqa’. Beliau sangat istemewa di hati kalangan para sufi. Namun, bermacam-macam pula anggapan orang tentang pendiriannya. Ia pernah mengatakan: “ kalau kamu lihat orang sanggup melakukan pekerjaan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti perintah syariat dan menjauhi batasan-batasan yang dilarang syariat.[1]
Dalam perjalanan hidupnya abu yazid memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia jarang keluar dari negeri Bistam, dan ketika dikatakan kepadanya bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu tempat yang lain. Ia menjawab: “ temanku ( Tuhanku) tidak pernah bepergian dan oleh karena itu aku tidak pernah bergerak dari sini.”[2]
Zahid menurutnya adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup zuhud demi mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini dikerjakan melalui tiga fase: zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akherat, dan zuhud terhadap selain Allah. Dalam fase terakhir ini menjadikan dirinya untuk tidak mengingat apapun lagi, kecuali Allah atau sering disebut fana al-nafs, yaitu hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi manusia sehingga ia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia karenaa kesadarannya telah menyatu dengan iradah Tuhan, bukan wujud Tuhan.
Dengan demikian, Abu yazidlah yang membawa paham al-ittihad dalam tasawuf yang dicapai melalui pintu fana dan baqa’. Fana’ adalah hilangnya kejahilan, kemaksiatan, dan sifat buruk manusia. Sedangkan baqa adalah kekalnya sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan, dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Ittihad sendiri merupakan tujuan dari fana dan baqa. Ittihad adalah penyatuan batin dan rahani dengan Tuhan. Dalam situasi ittihad merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil dengan kata-kata: “ hai aku”.[3]
Ketika diambang pintu ittihad, keluarlah ucapan-ucapan yang ganjil dari mulut para sufi. Ucapan ganjil itu disebut syathahat=theopatical stammering). Banyak ucapan-ucapan abu yazid yang menggambarkan bahwa ia telah sampai pada tingkat ittihad, misalnya :

سُبْحَانى سبحانى ما اعظم سأنى
“ maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku”.
Dalam keadaan tersebut, yang berbicara bukan Abu Yazid, karena dia telah fana, hancur kesadaran dirinya, masuk manunggal ke dalam diri Tuhan. Abu yazid tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan.
Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surah kahfi ayat 110 :
 Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."
2.      Al- Hallaj dan paham tentang Hulul
Nama lengkap al- hallaj adalah husein bin Mansur al-hallaj. Ia dilahirkan di negeri baidhaa, salah satu kota kecil dalam negeri Persia di tahun 244 H, dia mulai dewasa di kota wasith, dekat kota Baghdad. Pada usia 16 tahun, ia sudah belajar kepada sufi yang besar dan terkenal sahl bin Abdullah al-tusturi, di negeri ahwas. Setelah belajar dengan tusturi, dia belajar d basrah dengan sufi amar al-makki, dan pada tahun 264 dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada junaid al-baghdadi. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain hingga tidak ada lagi syaikh yang akan ia mintai fatwa dan tuntunan.[4]  
Pada usia 53 tahun ia begitu terkenal dan menjadi buah bibir dikalangan ahli fiqh, sebab perkataannya yang ganjil dan pandangan tasawufnya yang berbeda dengan yang lainnya. Hingga akhirnya keluarlah fatwa penyesatan dari ulama fiqh yang terkenal bernama ibnu daud al-isfahani, penganut madzhad zahiri, yang konon lebih radikal dari madzhab empat. Hal inilah yang menyebabkan al-hallaj ditangkap pemerintah dan dihukum bunuh dengan cara yang tragis dan sadis. Ia di pukuli dengan cemeti dan disalib, sesudahnya dipotong kedua kaki dan tangannya, dan digantung di gerbang kota Baghdad, sebagai peringatan bagi orang lain, kemudian dibakar dan dihanyutkan di sungai dajlah. [5]
Ajaran yang dibawa al-hallaj yang paling mashur adalah hulul. Hulul merupakan perkembangan dan bentuk lain dari paham ittihad. Menurut al-hallaj Tuhan dan manusia sama-sama memiliki sifat ketuhanan(nasut) dan kemanusiaan(lahut). Pemikiran ini muncul dari pemahaman terhadap hadits yang berbunyi :
ان الله خلق ادم على صورته
“Tuhan menciptakan adam menurut bentuk-Nya”
Dari hadits tersebut al-hallaj menyimpulkan bahwa dalam diri adam terdapat bentuk tuhan, begitun juga sebaliknya. Atas dasar itu maka al-hallaj menyimpulkan bahwa manusia dan tuhan itu bias bersatu. Paham persatuan itu disebut al-hulul dalam tasawuf mengandung pengertian bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya dengan terlebih dahulu menghilangkan sifat kemanusiannya, sehingga yang ada tinggal sifat ketuhanan, dan ketika itulah tuhan menyatu dalam diri sang sufi yang bersangkutan.[6]
Sewaktu hulul tercapai maka dari mulut al-hallaj adalah ana al-haqq, yang dimaksud itu bukanlah dirinya, akan tetapi diri Tuhan, karena selanjutnya ia berkata


“ aku adalah rahasia dari yang maha benar, bukanlah yang maha benar aku, aku hanya salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah antara kami.”
Hal itu menjadi perbedaan antara ittihad abu yazid al-bustami dan hulul al-hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu wujud. Sedang dalam hulul ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. [7]
3.      Ibnu ‘Arabi dan paham wahdatul wujud
Nama lengkap ibnu ‘arabi adalah Muhammad bin ali ahmad bin Abdullah.[8] Beliau disebut juga muhyiddin ibnu ‘arabi.dan dikenal juga dengan al-hattimi. Ia lahir di Murcia, spanyol di tahun 1102 M. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke tunis dan masuk aliran sufi, dalam perjalanan hidupnya ia pernah ke makkah, dan  akhirnya menetap di damaskus , meninggal di sana pada tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, ibnu ‘arabi adalah penulis yang sangat produktif. Jumlah buku yang ia karang mencapai lebih dari 200 buku. Karangan yang paling besar adalah futuhah al-makkah. Disamping itu, bukunya yang termasyhur adalah fusu al-hikam yang berisi tentang tasawuf. [9]
Paham wahdatul wujud adalah paham yang mengatakan bahwa antara antara manusia dan Tuhan itu sebenarnya satu kesatuan dari wuju d Tuhan, dan yang sebenarnya adalah wujud Tuhan itu. Sedangkan wujud makhluk hanya fotocopy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari dasar pemikiran bahwa Allah sebagai diterangkan dalam hulul, bahwa ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin Allah. Pada saat ia ingin melihat dirinya, ia cukup melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini, Tuhan dapat melihat dirinya, karena pada benda-benda alam ini, terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah muncul paham kesatuan. Paham  ini mengatakan bahwa yang ada di alam ini kelihatannya banyak, akan tetapi sebenarnya satu. Hal ini, seperti halnya orang yang melihat dirinya di dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi dirinya hanya satu. Seperti dikutip dalam kitab fusush al-hikam, paham wahdatul wujud terlihat dalm ungkapan :
وما الوجه الا واحد غير انه اذا انت اعد دت المرابا تعد دا
“wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak cermin, maka ia menjadi banyak.”
 Ibnu ‘arabi disebut orang yang telah sampai puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan berfikir ,filsafat, dan zauq tasawuf. Dia menyajikan ajaran  tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah, dan ancaman kaun awam sebagaimana yang dialami al-hallaj. [10]
Ibnu ‘arabi mengatakan bahwa wujud ala mini adalah wujud Allah. Allah itulah hakikat alam. Tidak ada disana perbedaan diantara wujud yang qadim yang disebut khalik dengan wujud baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid dengan ma’bud. Perbedaan itu hanya rupa dan ragam. Sedangkan esensi dan hakikatnya sama. Dalam syairnya ibnu ‘arabi mengatakan:
Hamba adalah Tuhan, Tuhan adalah hamba.
Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf
Kalau engkau katakana hamba, padahal dia Tuhan
Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintah?
ذSelanjutnya,ketika ia ditanya tentang sekiranya khalik dan makhluk itu satu, mengapa kelihatan dua? Maka ibnu arabi menjawab: sebab manusia tidak memandang dari wajah yang satu. Mereka memandang bahwa wajah pertama adalah haq dan wajah kedua adalah khalik. Tapi jika dipandang dari ‘ain  dan wajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu, tentulah manusia akan mendekati hakikat zat yang maha esa, yang tiada terbilang dan tidak terpisah. [11]










[1] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, ( Jakarta: Pustaka Panji mas, 1994), hal  93-94
[2] Abudin Nata, Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf,(Jakarta: raja grafindo persada, 2001)hal  174
[3] Abudin nata, akhlak tasawuf(Jakarta: raja grafindo persada, 2009)hal  235
[4] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,hal 108
[5] Ibid. hal 109
[6] Abudin Nata, Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, hal  178

[7]  Abudin nata, akhlak tasawuf. hal  246

[8] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,hal 138

[9] Abudin nata, akhlak tasawuf. hal  253

[10] Abudin nata, akhlak tasawuf. hal  253
[11] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,hal 141

Tidak ada komentar:

Posting Komentar