Powered By Blogger

Sabtu, 22 Desember 2012

Prodi Tafsir Hadis dalam Keistimewaan


Prodi Tafsir Hadis dalam Keistimewaan
Add caption
Oleh: Maghfiroh*[1]
Memilih dan menekuni studi Tafsir Hadis merupakan cita-cita sedikit orang. Hal ini terbukti dengan  jumlah mahasiswa program studi tafsir hadis yang lebih sedikit dibandingkan dengan program studi yang lainnya. Walaupun, memang masih mungkin ada yang lebih sedikit lagi mahasiswanya dibandingkan Prodi TH, akan tetapi TH untuk saat ini masih tergolong prodi yang minim peminat. Fakta ini bisa contohkan dengan yang ada di kampus saya ( STAIN Ponorogo. red). Dari 1015 mahasiswa baru yang masuk tahun ini, tercatat hanya ada 35 orang yang terdaftar sebagai mahasiswa Prodi TH. Ironis bukan?.
Namun demikian, sedikit dalam hal kuantitas tidak selalu paling rendah dalam hal kualitas. Mahasiswa Prodi TH  selalu berusaha menjadi pioner dalam segala lini di gelanggang kampus kami tercinta. Berbagai kegiatan keintelektualan mulai kajian mingguan, pelatihan, dan seminar berhasil kami gelar sebagai ajang pengembangan SDM kami. Upaya perluasan jaringanpun sedang kami galakkan, seperti halnya keikut sertaan kami dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis  Indonesia (FKMTHI) ini, diharapkan bisa membawa kemajuan Prodi Tafsir Hadis di kampus kami. Forum yang secara tidak langsung memberikan kesempatan studi banding dengan kampus lain. Informasi-informasi baru tentang Tafsir Hadis bisa kita akses dengan mudah. Forum yang kami harapkan  bisa bertindak sebagai wadah kreasi dan penyalur ide menuju masa depan TH yang cerah.   
            Salah seorang dosen progresif di kampus kami, pernah menasihati kami tentang satu hal, bahwa sebuah objek akan menjadi istemewa tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Seperti halnya kajian tafsir hadis akan menjadi suatu hal yang istimewa jika kita memperlakukannya secara istimewa. Yang menjadi pertanyaan tentu Perlukah sebuah perlakuan istimewa dalam kajian tafsir hadis?  langkah apa yang harus kita lakukan untuk menjadikan kajian tafsir hadis itu menjadi istemewa? Siapa saja yang berwenang menjadikan kajian tafsir hadis menjadi istemewa?. Beberapa pertanyaan diatas akan mengawali tulisan sederhana penulis ini.


Istimewa: Prodi Tafsir Hadis mendunia
             Program Studi Tafsir-Hadis mempunyai hajat dapat menghasilkan sarjana yang menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu Hadis, sarjana yang mampu memproduksi pemikiran-pemikiran baru yang berasal dari dua sumber pokok Islam tersebut. Dua sumber hukum islam yang selalu menjadi rujukan istimewa bagi para penganutnya. Sebagai sumber rujukan pertama dan kedua dalam pengambilan keputusan ajaran islam, tentunya kajian terhadap dua objek tersebut menjadi hal yang sangat dibutuhkan selama agama Islam masih dianut oleh manusia di bumi ini.
Problem-problem baru yang muncul dalam masyarakat saat ini, tentunya membutuhkan penyelesaian baru. Membutuhkan penafsiran baru yang ramah lingkungan, yang bisa membawa rahmat bagi seluruh alam.  Seperti jargon agama Islam, agama  rahmatal lil ‘alamin. Dari sini, program studi tafsir hadis, menjadi penting adanya.
Memperlakukan kajian studi tafsir hadis secara istimewa agaknya menjadi kewajiban bagi semua umat Islam. Khususnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pengkajian tafsir hadis. Langkah konkrit untuk menjadikan kajian hadis menjadi hal yang istimewa menurut hemat penulis adalah dengan mengadakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tafsir hadis. Selain kajian dalam forum-forum kecil, diskusi, pelatihan, ataupun seminar yang sudah sering dilakukan, sebuah ajang kompetisi dalam hal pengkajian tafsir hadis pun bisa kita coba untuk memberikan ruang khusus bagi masyarakat Prodi Tafsir Hadis di Indonesia.
Selanjutnya, upaya pembukuan hasil-hasil dari berbagai kegiatan pengkajian tafsir hadis juga perlu dilakukan, mengingat masih minimnya buku-buku tafsir hadis. Dalam hal peredaran buku, dibandingkan dengan buku-buku tentang kajian tafsir, buku-buku tentang kajian hadislah yang masih sangat minim menurut sepengetahuan penulis. Maka dari itu, mengabadikan kajian tafsir hadis dalam bentuk buku, bisa menjadi alternatif  pengkajian hadis semakin istimewa.
Memberi bekal para mahasiswa Prodi Tafsir Hadis dengan kemampuan berbahasa Arab dan berbahasa Inggris dengan baik dan benar dirasa sangat penting, selain itu kemampuan mahasiswa dalam penggunaan IT juga menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Mahasiswa Tafsir Hadis yang menguasai IT akan berbeda dengan mahasiswa yang gaptek. Kemajuan zaman yang semakin pesat menuntut Prodi Tafsir Hadis untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Prodi Tafsir Hadis akan menjadi istimewa dan diminati banyak orang dengan berbagai langkah konkrit. Publikasi dalam bentuk kajian-kajian ilmiah, pembukuan hasil-hasil kegiatan, pemberian bekal kemampuan berbahasa asing dan penguasaan di bidang IT menjadi faktor terpenting dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Upaya-upaya ini tentunya memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari mahasiswa, dosen, dan para pejabat sang pembuat kebijakan. Dibutuhkan para akademisi yang kreatif, pengajar yang memang kompeten dalam bidangnya, dan juga kucuran dana khusus dari para penyokong pendidikan untuk  Prodi Tafsir Hadis.
Wallahu a’lam. Salam Tafsir Hadis se- Indonesia.
Ponorogo, 9 Oktober 2012


[1] Mahasiswa Program studi Tafsir Hadis semester VII, sedang memangku amanah sebagai Ketua Senat Mahasiswa Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo masa risalah 2012

Rabu, 08 Agustus 2012

Selayang Pandang SMJ Ushuluddin STAIN Ponorogo


SENAT MAHASISWA JURUSAN
(SMJ) USHULUDDIN
KBM STAIN PONOROGO

SMJ USHULUDDIN
THEOLOGY REVIVAL MUST GO ON….
Sama Kosongnya seperti papan tulis sebelum guru datang
Mahasiswa Ushuluddin adalah ibarat pisau. Yang asalnya adalah sebuah besi tebal, kemudian dibakar-bakar dan dipukul-pukul hingga lempeng, sampai akhirnya menjadi pisau. Namun tidak cukup hanya menjadi sebuah pisau yang utuh, ia perlu sering diasah, sehingga dalam penggunaanya akan tetap tajam dalam membelah ataupun memotong apapun. Maksudnya adalah mahasiswa Ushuluddin harus sadar tentang proses, mulai pertanyaan terkesil apa itu proses, bagaimana ia berproses, mengapa ia berproses, apa yang sekarang dan yang akan dilakukan untuk berproses semuanya berkelanjutan dan bertahap. Adakalanya juga, ia menyadari pentingnya proses pada awal-awal ia masuk Ushuluddin, namun terkadang sang mahasiswa ini tersadar akan kebutuhanya pada saat-saat terakhirnya ia menjadi seorang mahasiswa. Mulai dari kebutuhan intelektual, kebutuhan organisasi, kebutuhan gerakan dan mungkin juga akan jaringan. Oleh karena itu, mahasiswa Ushuluddin harus paham ini sejak dari awal masuk.
Akan tetapi yang akan menjadi focus orientasi mahasiswa ushuluddin adalah keintelektualan. Karena bila dilihat dari bobot keilmuanya, contohkan disana filsafat, sosiolgi dan tafsir hadits. Apabila digabungkan tentu akan menjadi sebuah bobot keilmuan yang sangat tinggi dalam ilmu pengetahuan, karena dapat menggabungkan akal, pengalaman (realitas social) dan metodologi. Sehingga mahasiswa diajak untuk berfikir secara rasional dan masuk akal (menurut perspektif individu yang dapat dipertanggung jawabkan) serta harus sesuia dengan realitas social yang ada kontekstual. Selain itu juga diharuskan untuk menggunakan metodologi yang benar, agar nantinya menjadi suatu karya intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, moral dan social.
Mahasiswa Ushuluddin harus punya tanggung jawab keilmuan. Karena keilmuan di Ushuluddin harus sesuai dengan kebutuhan dan porsi masyarakat dalam artian dapat dikontekstualisasikan. Karena sekarang banyak sekali keilmuan yang hanya mengedepakan rasionalitas secara subjektif (terjebak euphoria hasil karya individu/kebenaran yang hanya benar menurut dirinya sendiri) dan meninggalkan keilmuan yang bersifat rasionalitas  objektif (realitas social). Karya intelektual tersebut dapat menjadi sebuah tonggak perubahan dalam segala hal. Sehigga tidak akan mengalami stagnasi atau kemandekan keilmuan. Dan tidak hanya akan menjadi kepuasan intelektual secara individual belaka dan menghiraukan, serta tidak mempertanggung jawabkan keilmuanya dalam lingkup realitas social. Kalau boleh mengambil sample adalah lulusan dokter sekarang lebih mengedepankan eksklusivitasnya. Mereka berpakaian layaknya seorang pejabat, sehingga dari sini muncullah jarak yang menghalangi dan menciptakan keterputusan sebuah jalinan keharmonisan keilmuan social. Karena seharusnya mereka dituntut sebagai creator of change atau pencipta perubahan dalam masyarakat ataupun Negara. Dari sini ia harus lebih tahu tentang realitas yang ada, tentang gerak-gerik mereka, tentang bagaimana mereka memandang, tentang cara apa yang mereka harus semestinya lakukan dan tentunya tentang kapan perubahan itu akan menjadi sebuah sumber kekuatan dan motivasi yang positif bagi semua kelompok, bagi semua lini, bagi semua golongan, serta dapat menjadi tonggak terbangunnya Negara kita yang telah lelap tertidur dalam romantisme reformasi. Yang telah menyebabkan bangsa yang besar ini hanya akan menjadi singa yang kelaparan dan tidak punya kekuatan untuk bangkit kembali.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang, banyak sekali yang ingin kita evaluasi serta refleksi. Terutama apabila kita menghadapi permasalahan keintelektualan mahasiswa. Seperti apakah sebetulnya mahasiswa terutama Ushuluddin dapat menggapai sebuah cita-cita keintelektualan yang diharapkan dari ruang yang kosong, menjadi sebuah ruang yang penuh dengan imajinasi dan motivasi, serta keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat. Sebuah harapan besar bila dari obrolan-obrolan warung kopi (diskusi) yang dilakukan dapat membudaya menjadi inspirator sebuah kelompok yang lebih besar dalam hal pemikiran dan gerakan. Sehingga harapanya juga mahasiswa Ushuluddin dapat selalu menjadi puncak kepemimpinan dalam sebuah kelompok, tim ataupun organisasi. Dan suatu hal yang memungkinkan jika mahasiswa ushuluddin dapat menjadi pewaris tongkay estafet kepemimpinan dalam masyarakat dan Negara.
Menurut subjektif kami, mahasiswa ushuluddin diharapkan mempunyai pola pikir yang antisipasif. Pola pikir yang antisipasif adalah suatu pemikiran yang lebih condong menanggapi sesuatu yang sedang dan akan terjadi. Pola pikir ini mengakui perkembangan yang linier, baik yang terduga ataupun yang tidak terduga. Keunggulan pola pikir ini adalah kemampuan memaknai fenomena dengan ketajaman logis-teoritis, sedangkan kesadaran etiknya mengharapkan perkembangan masa depan. Jadi pola pikir ini mencoba untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan, kendatipun langkah yang ditawarkan itu bertolak dari perkembangan fenomena sekarang ini. Pemikir yang berpola ini sering bicara tentang tantangan yang dihadapi sekarang dan yang akan datang sekaligus solusinya.
Pemikir yang berpola antipasif itu dapat dilacak ketika dia menilai ada beberapa masalah yang perlu dibenahi dalam budaya mahasiswa terutama ushuluddin, antara lain : kemampuan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan metodologis dan perluasan cakrawala wawasan kemasyarakatan yang terus mengalami transformasi. Oleh karenanya perlu injeksi metodologis dengan cara :
1.      Memberikan peranan aktif (dalam hal ini SMJ Ushuluddin) dalam proses pembelajaran yang androgogik (pendidikan orang dewasa) mulai dari konsep diri (berbasis kemandirian), peranan sebuah pengalaman (proses mengalami), kesiapan belajar (motivasi) dan orientasi belajar.
2.      Membiasakan membuat abstaksi dan menangkap ide-ide dasar dalam buku yang dikaji atau kajian yang sedang dijalani.
3.      Memperbanyak diskusi untuk mencarikan titik temu antara konsep dan aplikasi, antara hukum-hukum dengan realitas social yang ada.
Untuk itu, mahasiswa Ushuluddin kedepanya dapat mendalami dan mewariskan keilmuan, memiliki integritas moral, kepekaan social, keterbukaan, semangat menyerap informasi yang intens dan analisis yang tajam. Idealisme ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang muncul di masa yang akan datang, berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi sekarang sebab masyarakat yang akan datang lebih condong menggunakan pertimbangan-pertimbangan raisonal. Kalau bisa diibaratkan keadaan masyarakat sekarang adalah “Rakyat sudah tidak lagi butuh demokrasi akan tetapi mereka butuh makan. Karena rakyat sudah tidak betah di negeri sendiri (Negara demokrasi), mereka lebih memilih mencari sandang pangan diluar negeri (yang notabene bukan Negara demokrasi)”. Oleh karena itu, Negara ini membutuhkan orang yang cerdas dan bukan sekedar orang yang rajin.
Disinilah letak SMJ Ushuluddin sebagai pendorong mahasiswa untuk menjadi seorang inovator, fasilitator, dinamisator, motivator, katalisator atau menjembatani semua cita-cita atau harapan dari mahasiswa Ushuluddin seperti apa yang tercantum diatas. Agar kelak mahasiswa mempunyai daya saing serta daya jual. Yang mana sekarang tuntutanya adalah untuk selalu kompetitif dalam segala hal. Apalagi kita sudah dihadapkan dengan permasalahan globalisasi/sebuah bentuk kapitalissme baru, yang tidak bisa lagi dipandang remeh. Karena telah banyak kerugian serta kerusakan yang telah dilakukan.
Dalam sebuah kepengurusan organisasi kami juga mempunyai bidang-bidang yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap anggota-anggotanya, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan serta sampai pada tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Kami mempunyai beberapa tim kerja yang mana satu sama lain untuk saling membantu dan saling mengkritisi dalam tanda kutip, kritikan yang bersifat membangun. Diantaranya :
1.      Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia
Salah satu tugas pokoknya adalah menggodok keintelektualan mahasiswa Ushuluddin serta berperan aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Bidang ini kerap mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dengan tema variatif setiap minggunya, seperti  sosial, keagamaan, dll. Forum diskusi ini dinamai Forum KenCan (Kenduri Wacana)
2.      Bidang Publikasi
Dari bidang inilah unsure jurnalistik dalam SMJ Ushuluddin timbul. Melalui minimags SAPULIDI clean old pleasures, mahasiswa Ushuluddin bisa menyalurkan bakat dan minatnya dalam bidang kajian dan jurnalistik.
3.      Bidang Komunikasi dan Informasi
Tugas intinya adalah menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga lain serta mengupayakan pengembangan bagi SMJ dan mahasiswa ushuluddin umumnya.  Untuk jaringan tingkat Nasional, sekarang SMJ Ushuluddin tergabung dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadits se-Indonesia (FKMTHI).
Demikian sedikit pengantar, semoga bermanfaat bagi semuanya. Dan harapanya, mahasiswa ushuluddin lebih bisa kompetitif dan bisa menjadi innovator di segala lini, baik keintelektualan maupun dunia pergerakan. God bless. Emin.
“sesungguhnya setiap revolusi pemikiran bermula dengan pembebasan perspektif pemahaman dari doktrin lama menuju pada perspektif dan aksioma baru. Kita harus melepaskan diri dari symbol masa lalu yang hanya menandai pengalaman dan pengetahuan yang telah menghilang dan menggantikanya dengan symbol-simbol baru.



STRUKTUR PENGURUS SMJ USHULUDDIN
MASA RISALAH 2012

KETUA                     : MAGHFIROH                    
WAKIL KETUA      : KHAFIDZ ISTARDLO     
SEKRETARIS          : HENIK SUHULIN
BENDAHARA          : ANTIKA HAYUN PRIMADANI


BIDANG PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA:
·         AHMAD SYAIFUDDIN (CO)
·         ENIK SITI NUR JANNAH
·         IMAM SUDARMOKO
·         HANIFUDDIN ZUHRO
·         ALI MUSTOFA
·         SITI MAHMUDAH
BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMASI:
·         AFIF SYAHRUL HADI (CO)
·         HISYAM CHUMAIDI
·         IMAM MALIKI
·         AGAM FAID RIDLO
·         MUDDA’IYATUL HASANAH
·         AMRON ROSYIDI
BIDANG PUBLIKASI:
·         ZULFATUN NAIMAH (CO)
·         ILHAM JAUHARI
·         M. HAMID GHUFRONI
·         GHOFURUROHIM
·         USTMAN ZAINUDDIN

Minggu, 08 Juli 2012

study banding kitab tafsir


TAFSIR AL-MUNIR LI MA’ALIM AT-TANZIL
Karya: SYEKH NAWAWI AL BANTANI
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.
 Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syeck Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
 Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Syekh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.[1]
Biografi  Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.[2]
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syeck Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. [3]
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya syeck Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syeck Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Karya Nawawi Dalam Bidang Tafsir
Nawawi telah menulis, paling tidak, tentang 9 bidang ilmu pengetahuan : tafsir, ushul ad-din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa arab, hadits, akhlak( ajaran moaral islam). Jumlah karyanya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak penulis, lebih dari 100.
Salah satu karya Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah Labid Tafsir an-Nawawi. Tentang tafsirnya yang berhalaman 985, yang terdiri dari 2 jilid dan diselesaikan pada tahun 1889 ( rabiul akhir 1305 H), dia memperlihatkan kepada ulama untuk meneliti dan memberikan komentar terhadap karyanya.
Dengan memerhatikan prestasinya dibidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar sayyid ulama al-hijaz. Di akhir karirnya sebagai seorang alim di hijaz, gelarnya begitu mengesankan sehinggan ia mengungkapkanrasa syukurnya kepada Allah atas karyanya yang luar biasa ini, dengan menyusaun sebuah kumpulan puisi. Satu penggalan puisinya menyatakan: “tidak diragukan, ilmu pengetahuan adalah sumber cahaya yang menerangi pemiliknya. Dimanapun sang pemilik berada, dia akan senantiasa dihormati.”
Nawawi mewakili non arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa arab yag sangat indah. Tidak seperti Muhammad Abduh, Nawawi menampilkan a New classical tradisi tafsir, sebuah yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan. Namun, pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Abduh lebih dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Muktazilah, sedang Nawawi dipenngaruhi oleh pemikiran ulama’ sunni abad pertengahan, seperti karya-karya ibnu Umar Katsir al-Quraisi, jalaludin ad-din Mahalli, jalaluddin as-Suyuti, dan yang sejenisnya. Lagi pula Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analitis, sedangkan Nawawi lebih bersandar pada, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama salaf terpercaya.
Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringtan bahwa siapapun yang mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an di dasarkan pada pendapatnya, ia telah melakukan sesuatu kekeliruan. Dan nereka akan menjadi tempat kemballi bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum dia memutuskan untuk menulis tafsir, meskipun banyak orng meyakinkan dan mendukungnyan untuk menulis.
Nawawi menyadari betul peringatan hadits tersebut, namun akhirnya dia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukkan keshalihan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat darinya. Dia juga menyadari bahwa dia tidak akan mampu menyamai karya-karya ulama salaf, tetapi dia yakin bahwa dalam setiap periode harus ada pergantian dan  pembaruan ( tajdid).
Selanjutnya Nawawi memohon kepada Tuhan supaya karyanya akan membawa manfaat bagi kehidupan akhiratnya kelak, dia menyadari sepenuhnya bhawa dia tidak terlepas dari unsur kekeliruan manusiawi. Karena itulah, dia menyelesaikan tafsirnya dengan sangat cermat dan menyandarkan semua karyanya kepada penjelasan al-Qur’an itu sendiri yang terdapat pada ayat-ayat lainnya, hadits-hadits Nabi, pernyataan para sahabat, dan salaf ash shalih.
Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh dalam menafsirkan induk al-Qur’an ( surah al-fatihah) dia menjelaskan dalam surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan. Pertama, tauhid, keesaan Tuhan atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam frase alhamdu li Allah rabbi al-‘alamin, ar-rahman ar-rahim. Dan tugas-tugas Nabi di dalam alladzina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaum ad-din. Kedua, hukum islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum islam terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan maslah kehidupan. Muamalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semua termuat dalam makna shiratal mustaqim. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas islam. Ini termasuk istiqamah di jalan yang lurus. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in. Keempat, sejarah atau kisah pada masa lampau. Kemuliaan yang perlu diteladani berasal dari para nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaiman termuat dalam alladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghair al-maghdhubi ‘alaihimwa la adh-dhalin.[4]
Segi penting lain dari kitab tafsir ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya adalah penekanannya terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah(keimanan)dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuk-Nya. Bisa kita lihat dalam muqaddimah dan khatimah kitab ini. Dia selalu menaruh perhatian,terhadap kemaha kuasaan Allah dengan memuji sifat pengasih dan penyayangNya. Di samping ituNawawi tidak pernah lupa menaruh pesan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai peringatan kepada para pembaca. Dengan menguatkan kterkaitan firman-firman serta janji-janji Tuhan dalam mencapai kebahagian hidup dengan mengikuti teladan para Nabi, orang-orang terpercaya, para syuhada, dan para leluhur. Pesan amar ma’ruf nahi munkar yang bisa dijumpai dalam sebagian literatur sunni, mu’tazili, dan sunni, menunjukkan dorongan kepada kaum muslim untuk tetap menunjukkan identitas yang lebih baik di mata Tuhan dan manusia.
Masih sisi lain dari tafsir Nawawi bahwa dalam karya tafsirnya disisipkan berbagai kisah menarik. Tersedia cukup banyak dan komprehensif, informasi tentang Asbabun Nuzul. Semua itu didukung oleh kepandaian dan kelihaian gaya penulisannya, yang tak seorangpun menyangkal bahwa Nawawi memiliki background kuat dalam sastra dan tata bahasa arab. Sejalan hal ini tafsirnya juga peuh dengan kekayaan explanasi linguistik dan pendahuluan yang beragam dalm membaca al-qur’an oleh tujuh imam(qiraah as-sab’ah).[5]
Penafsiran terhadap al-qur’an yang dilakukan Imam Nawawi dengan tafsirnya yang berjudul Marah Labid yang  terdiri dari dua jilid dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1887, dan tafsir ini lebih dikenal dalam masyarakat dengan nama tafsir munir.
Penamaan al-Munir sendiri diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama yang diberikan oleh imam Nawawi adalah Marah Labid. Arti dari marah labid sendiri secara kebahasaan adalah “ terminal burung” atau dengan istilah lain “ tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”. [6]
Karakteristik dari penulisan kitab tafsir Marah Labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasas yang digunakan al-Qur’an, adapun metode yang digunakan imam Nawawi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode Ijmaly.
Sedangkan kecenderungan imam Nawawi dalam menafsirkan bernuansa fiqih dan tasawuf. Meskipun ia tidak terjebak pada persoalan furu’( cabang-cabang ilmu fikih) dan istidhlal ( dalil-dalil). Namun, ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan fikih, ia terlihat menafsirkannya dengan lebih detail. Adapun kecenderungan pada tasawuf dalam menafsirkan al-qur’an dapat di;lihat ketika ia menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.
Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi. Para ulama menilai Marah Labid ini merupakan tafsir standar yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Dari data yang penulis terima dijelaskan bahwa tafsir ini dicetak ulang oleh penerbit al-halabi, kairo denagan layout yang disertai di bagian margin dengan kitab al-wajiz fi tafsir al-Qur’an al-Ajiz karyaal-wahidi( w. 468/1076). Sejak diterbitkan di kairo, tafsir ini tertulis di halaman covernya dengan nama. Dan  Hal ini sama dengan yang tertera dalam cover kitab Marah Labid yang diterbitkan oleh penerbit al-Hidayah Surabaya. Yaitu:
-                     مراح لبيد – تفسير النوو ي
-                     التفسير المنير لمعالم التنزيل – المسقر عن وخوه محاسن التاءويل[7]
Di lihat dari cover, tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Dua kalimat pertama di atas diperkirakan nama tersebut diberiakan oleh pihak penerbit. Sedangkan di baris terakhir berasal dari Nawawi langsung. Asumsi ini didasari oleh pengakuan Imam Nawawi di pendahuluan  tafsirnya bahwa kitab tafsir yang ditulisnya ini sengaja dinamai dengan Marah Labid likasyafi  manaQur’an majid. Sedangkan nama tafsir  al-munir tidak disinggung sedikitpun di pendahuluannya. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa imam Nawawi memang menulis karya ini dengan memberi nama Marah Labid tetapi ketika naik cetak penerbit membubuhkan nama lainyakni al-munir.
Boleh jadi penamaan al-tafsir al-munir merupakan harapan tentang wacana islam yang tengah berubah. Satu harapan yang ingin menempatkan tafsir marah labid menjadi juru penerang dalam masyarakat islam.
Dalam tafsirnya ini, imam Nawawi mengatakan bahwa sebenarnya sebelum menulis tafsir ini, ia ragu melakukannya. Ia berfikir lama karena khawatir termasuk ke dalam orang yang sebagaimana dinyatakan oleh nabi muhammad SAW. “ Barang Siapa berkata teentang al-qur’an dengan pikiran walaupun benar tetap dinyatakan salah.” “ barang siapa berkata tentang al-qur’an dengan pikirannya, sama dengan mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam neraka.”
Pada jilid pertama marah labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Penafsiaran yang terlihat dalam kitab marah labid terdapat di dalam garis, sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajir tafsir al-qur’an al-aziz oleh Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi yang meninggal pada tahun 468 H.

CONTOH PENAFSIRAN DALAM KITAB MARAH LABID  ( TAFSIR MUNIR) KARYA NAWAWI AL-BANTANI
Contoh 1. Penafsiran dalam kitab Munir karya Nawawi al-Bantani, ali- Imran ayat 169. Dalam menafsiri al-Qur’an Nawawi banyak menyertakan Asbabun Nuzul, mengaitkan dengan ayat lain, dan menukil beberapa hadits Nabi yang seirama dalam pemaknaan dengan ayat tersebut.
Ÿwur ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏFè% Îû È@Î6y «!$# $O?ºuqøBr& 4 ö@t/ íä!$uŠômr& yYÏã óOÎgÎn/u tbqè%yöãƒ
Ayat ini diturunkan ketika perang uhud, jumlah mujahid yang meninggal dari golongan muhajirin ada 74 orang , salah satunya hamzah bin Abu muthalib, dll.[8]
Dalam menafsiri ayat ini, Nawawi juga menyertakan ayat yang turun ketika perang badar. Dengan mengunakan redaksi “ sedangkan ketika perang badar diturunkan ayat pada surah al-baqarah ayat 154,
Ÿwur (#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ムÎû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur žw šcrããèô±n@
Nawawi juga menyertakan hadits Nabi dalam penafsiran tersebut
  artinya sesungguhnya Nabi SAW menyifati para syuhada’ bahwa sesungguhnya arwah mereka di tempatkan di paruh burung berwarna hijau, dan para arwah tersebut mendatangi sungai-sungai di surga, makan buah-buahan di surga, dan bisa beristirahat setiap saat, bisa bertempat di permadani di bawah ‘Arsyi.[9]
Contoh 2. Dalam menafsiri ayat Nawawi juga menukil pendapat para ulama, termasuk Imam Syafi’i.
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ
Ayat ini di tafsiri Nawawi dengan redaksi “ shalat al- wustha adalah shalat yang utama, yaitu shalat subuh, pendapat ini menurut Ali, Umar, Ibnu Abbas, jabir, Abi imamah al-bahli, yang semuanya dari golongan para sahabat. Juga pendapat imam thous, imam ‘atha’, ikrimah, dan imam mujahid yang kesemuanya tersebut sejalan dengan madzhab Syafi’i. Shalat subuh itu dikatakan utama karena merupakan shalat yang munfarid, waktunya hanya satu waktu( tidak bisa dijama’dengan shalat yang lainnya), shalat subuh itu juga di datangi malaikat malam dan siang. Dalam penafsiran shalat wustha sebagian ulama’ ada yang menyatakan bahwa wustha di sini adalah shalat asar. [10]
         












[1] http : guru-guru di tanah jawa.com diakses tanggal 18 maret 2012
[2] Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren( jakarta : kencana, 2006), hal 110-112
[3] Ibid. Hal 118
[4] Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren, hal. 132. Sebagaimana tertera dalam  karya Nawawi, tafsir Marah Labid, hal 2-3
[5]Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren, hal. 133-134
[6] Segar rasa. Com. Syihabuddin, penelitian tafsir nawawi pdf. Diakses tanggal 26 maret 2012
[7] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal cover
[8] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal 129
[9] Ibid. Hal. 129
[10] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir,hal. 77