Powered By Blogger

Minggu, 08 Juli 2012

study banding kitab tafsir


TAFSIR AL-MUNIR LI MA’ALIM AT-TANZIL
Karya: SYEKH NAWAWI AL BANTANI
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.
 Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Syeck Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
 Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian. Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Syekh Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.[1]
Biografi  Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.[2]
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 syeck Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. [3]
Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah). Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena permintaan orang lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya syeck Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum di cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syeck Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Karya Nawawi Dalam Bidang Tafsir
Nawawi telah menulis, paling tidak, tentang 9 bidang ilmu pengetahuan : tafsir, ushul ad-din, ilmu tauhid, tasawuf, kehidupan Nabi, tata bahasa arab, hadits, akhlak( ajaran moaral islam). Jumlah karyanya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak penulis, lebih dari 100.
Salah satu karya Nawawi yang sangat dikagumi oleh ulama di Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah Labid Tafsir an-Nawawi. Tentang tafsirnya yang berhalaman 985, yang terdiri dari 2 jilid dan diselesaikan pada tahun 1889 ( rabiul akhir 1305 H), dia memperlihatkan kepada ulama untuk meneliti dan memberikan komentar terhadap karyanya.
Dengan memerhatikan prestasinya dibidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar sayyid ulama al-hijaz. Di akhir karirnya sebagai seorang alim di hijaz, gelarnya begitu mengesankan sehinggan ia mengungkapkanrasa syukurnya kepada Allah atas karyanya yang luar biasa ini, dengan menyusaun sebuah kumpulan puisi. Satu penggalan puisinya menyatakan: “tidak diragukan, ilmu pengetahuan adalah sumber cahaya yang menerangi pemiliknya. Dimanapun sang pemilik berada, dia akan senantiasa dihormati.”
Nawawi mewakili non arab yang menulis karya tafsirnya dalam bahasa arab yag sangat indah. Tidak seperti Muhammad Abduh, Nawawi menampilkan a New classical tradisi tafsir, sebuah yang tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan. Namun, pada saat yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Abduh lebih dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Muktazilah, sedang Nawawi dipenngaruhi oleh pemikiran ulama’ sunni abad pertengahan, seperti karya-karya ibnu Umar Katsir al-Quraisi, jalaludin ad-din Mahalli, jalaluddin as-Suyuti, dan yang sejenisnya. Lagi pula Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analitis, sedangkan Nawawi lebih bersandar pada, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama salaf terpercaya.
Kontribusi utama Nawawi dalam bidang tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia islam tidak menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik islam. Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim untuk menulis tafsir karena adanya peringtan bahwa siapapun yang mengomentari atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an di dasarkan pada pendapatnya, ia telah melakukan sesuatu kekeliruan. Dan nereka akan menjadi tempat kemballi bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum dia memutuskan untuk menulis tafsir, meskipun banyak orng meyakinkan dan mendukungnyan untuk menulis.
Nawawi menyadari betul peringatan hadits tersebut, namun akhirnya dia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukkan keshalihan ulama salaf dalam memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat darinya. Dia juga menyadari bahwa dia tidak akan mampu menyamai karya-karya ulama salaf, tetapi dia yakin bahwa dalam setiap periode harus ada pergantian dan  pembaruan ( tajdid).
Selanjutnya Nawawi memohon kepada Tuhan supaya karyanya akan membawa manfaat bagi kehidupan akhiratnya kelak, dia menyadari sepenuhnya bhawa dia tidak terlepas dari unsur kekeliruan manusiawi. Karena itulah, dia menyelesaikan tafsirnya dengan sangat cermat dan menyandarkan semua karyanya kepada penjelasan al-Qur’an itu sendiri yang terdapat pada ayat-ayat lainnya, hadits-hadits Nabi, pernyataan para sahabat, dan salaf ash shalih.
Kekhasan karya Nawawi terletak pada perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh dalam menafsirkan induk al-Qur’an ( surah al-fatihah) dia menjelaskan dalam surat ini memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan. Pertama, tauhid, keesaan Tuhan atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam frase alhamdu li Allah rabbi al-‘alamin, ar-rahman ar-rahim. Dan tugas-tugas Nabi di dalam alladzina an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaum ad-din. Kedua, hukum islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum islam terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan maslah kehidupan. Muamalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semua termuat dalam makna shiratal mustaqim. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan moralitas islam. Ini termasuk istiqamah di jalan yang lurus. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in. Keempat, sejarah atau kisah pada masa lampau. Kemuliaan yang perlu diteladani berasal dari para nabi, dan sebaliknya bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaiman termuat dalam alladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghair al-maghdhubi ‘alaihimwa la adh-dhalin.[4]
Segi penting lain dari kitab tafsir ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya adalah penekanannya terhadap kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah(keimanan)dan keyakinan kepada Tuhan dan petunjuk-Nya. Bisa kita lihat dalam muqaddimah dan khatimah kitab ini. Dia selalu menaruh perhatian,terhadap kemaha kuasaan Allah dengan memuji sifat pengasih dan penyayangNya. Di samping ituNawawi tidak pernah lupa menaruh pesan amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai peringatan kepada para pembaca. Dengan menguatkan kterkaitan firman-firman serta janji-janji Tuhan dalam mencapai kebahagian hidup dengan mengikuti teladan para Nabi, orang-orang terpercaya, para syuhada, dan para leluhur. Pesan amar ma’ruf nahi munkar yang bisa dijumpai dalam sebagian literatur sunni, mu’tazili, dan sunni, menunjukkan dorongan kepada kaum muslim untuk tetap menunjukkan identitas yang lebih baik di mata Tuhan dan manusia.
Masih sisi lain dari tafsir Nawawi bahwa dalam karya tafsirnya disisipkan berbagai kisah menarik. Tersedia cukup banyak dan komprehensif, informasi tentang Asbabun Nuzul. Semua itu didukung oleh kepandaian dan kelihaian gaya penulisannya, yang tak seorangpun menyangkal bahwa Nawawi memiliki background kuat dalam sastra dan tata bahasa arab. Sejalan hal ini tafsirnya juga peuh dengan kekayaan explanasi linguistik dan pendahuluan yang beragam dalm membaca al-qur’an oleh tujuh imam(qiraah as-sab’ah).[5]
Penafsiran terhadap al-qur’an yang dilakukan Imam Nawawi dengan tafsirnya yang berjudul Marah Labid yang  terdiri dari dua jilid dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1887, dan tafsir ini lebih dikenal dalam masyarakat dengan nama tafsir munir.
Penamaan al-Munir sendiri diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama yang diberikan oleh imam Nawawi adalah Marah Labid. Arti dari marah labid sendiri secara kebahasaan adalah “ terminal burung” atau dengan istilah lain “ tempat peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”. [6]
Karakteristik dari penulisan kitab tafsir Marah Labid adalah kebahasaan, karena ia mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasas yang digunakan al-Qur’an, adapun metode yang digunakan imam Nawawi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode Ijmaly.
Sedangkan kecenderungan imam Nawawi dalam menafsirkan bernuansa fiqih dan tasawuf. Meskipun ia tidak terjebak pada persoalan furu’( cabang-cabang ilmu fikih) dan istidhlal ( dalil-dalil). Namun, ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan fikih, ia terlihat menafsirkannya dengan lebih detail. Adapun kecenderungan pada tasawuf dalam menafsirkan al-qur’an dapat di;lihat ketika ia menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.
Karakter yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi. Para ulama menilai Marah Labid ini merupakan tafsir standar yang mudah dimengerti oleh pembaca.
Dari data yang penulis terima dijelaskan bahwa tafsir ini dicetak ulang oleh penerbit al-halabi, kairo denagan layout yang disertai di bagian margin dengan kitab al-wajiz fi tafsir al-Qur’an al-Ajiz karyaal-wahidi( w. 468/1076). Sejak diterbitkan di kairo, tafsir ini tertulis di halaman covernya dengan nama. Dan  Hal ini sama dengan yang tertera dalam cover kitab Marah Labid yang diterbitkan oleh penerbit al-Hidayah Surabaya. Yaitu:
-                     مراح لبيد – تفسير النوو ي
-                     التفسير المنير لمعالم التنزيل – المسقر عن وخوه محاسن التاءويل[7]
Di lihat dari cover, tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua al-tafsir Marah Labid. Dua kalimat pertama di atas diperkirakan nama tersebut diberiakan oleh pihak penerbit. Sedangkan di baris terakhir berasal dari Nawawi langsung. Asumsi ini didasari oleh pengakuan Imam Nawawi di pendahuluan  tafsirnya bahwa kitab tafsir yang ditulisnya ini sengaja dinamai dengan Marah Labid likasyafi  manaQur’an majid. Sedangkan nama tafsir  al-munir tidak disinggung sedikitpun di pendahuluannya. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa imam Nawawi memang menulis karya ini dengan memberi nama Marah Labid tetapi ketika naik cetak penerbit membubuhkan nama lainyakni al-munir.
Boleh jadi penamaan al-tafsir al-munir merupakan harapan tentang wacana islam yang tengah berubah. Satu harapan yang ingin menempatkan tafsir marah labid menjadi juru penerang dalam masyarakat islam.
Dalam tafsirnya ini, imam Nawawi mengatakan bahwa sebenarnya sebelum menulis tafsir ini, ia ragu melakukannya. Ia berfikir lama karena khawatir termasuk ke dalam orang yang sebagaimana dinyatakan oleh nabi muhammad SAW. “ Barang Siapa berkata teentang al-qur’an dengan pikiran walaupun benar tetap dinyatakan salah.” “ barang siapa berkata tentang al-qur’an dengan pikirannya, sama dengan mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam neraka.”
Pada jilid pertama marah labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas. Penafsiaran yang terlihat dalam kitab marah labid terdapat di dalam garis, sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajir tafsir al-qur’an al-aziz oleh Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi yang meninggal pada tahun 468 H.

CONTOH PENAFSIRAN DALAM KITAB MARAH LABID  ( TAFSIR MUNIR) KARYA NAWAWI AL-BANTANI
Contoh 1. Penafsiran dalam kitab Munir karya Nawawi al-Bantani, ali- Imran ayat 169. Dalam menafsiri al-Qur’an Nawawi banyak menyertakan Asbabun Nuzul, mengaitkan dengan ayat lain, dan menukil beberapa hadits Nabi yang seirama dalam pemaknaan dengan ayat tersebut.
Ÿwur ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏFè% Îû È@Î6y «!$# $O?ºuqøBr& 4 ö@t/ íä!$uŠômr& yYÏã óOÎgÎn/u tbqè%yöãƒ
Ayat ini diturunkan ketika perang uhud, jumlah mujahid yang meninggal dari golongan muhajirin ada 74 orang , salah satunya hamzah bin Abu muthalib, dll.[8]
Dalam menafsiri ayat ini, Nawawi juga menyertakan ayat yang turun ketika perang badar. Dengan mengunakan redaksi “ sedangkan ketika perang badar diturunkan ayat pada surah al-baqarah ayat 154,
Ÿwur (#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ムÎû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur žw šcrããèô±n@
Nawawi juga menyertakan hadits Nabi dalam penafsiran tersebut
  artinya sesungguhnya Nabi SAW menyifati para syuhada’ bahwa sesungguhnya arwah mereka di tempatkan di paruh burung berwarna hijau, dan para arwah tersebut mendatangi sungai-sungai di surga, makan buah-buahan di surga, dan bisa beristirahat setiap saat, bisa bertempat di permadani di bawah ‘Arsyi.[9]
Contoh 2. Dalam menafsiri ayat Nawawi juga menukil pendapat para ulama, termasuk Imam Syafi’i.
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ
Ayat ini di tafsiri Nawawi dengan redaksi “ shalat al- wustha adalah shalat yang utama, yaitu shalat subuh, pendapat ini menurut Ali, Umar, Ibnu Abbas, jabir, Abi imamah al-bahli, yang semuanya dari golongan para sahabat. Juga pendapat imam thous, imam ‘atha’, ikrimah, dan imam mujahid yang kesemuanya tersebut sejalan dengan madzhab Syafi’i. Shalat subuh itu dikatakan utama karena merupakan shalat yang munfarid, waktunya hanya satu waktu( tidak bisa dijama’dengan shalat yang lainnya), shalat subuh itu juga di datangi malaikat malam dan siang. Dalam penafsiran shalat wustha sebagian ulama’ ada yang menyatakan bahwa wustha di sini adalah shalat asar. [10]
         












[1] http : guru-guru di tanah jawa.com diakses tanggal 18 maret 2012
[2] Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren( jakarta : kencana, 2006), hal 110-112
[3] Ibid. Hal 118
[4] Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren, hal. 132. Sebagaimana tertera dalam  karya Nawawi, tafsir Marah Labid, hal 2-3
[5]Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren, hal. 133-134
[6] Segar rasa. Com. Syihabuddin, penelitian tafsir nawawi pdf. Diakses tanggal 26 maret 2012
[7] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal cover
[8] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal 129
[9] Ibid. Hal. 129
[10] Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir,hal. 77

1 komentar:

  1. MBAK TOLONG CEK LAGI. TENTANG CERITA KH HASYIM DAN SYEKH NAWAWI BANTEN. SEBAB SYEKH NAWAWI BANTEN LAHIR TAHUN 1277 SEDANG KH HASYIM LAHIR TAHUN 1875. MUNGKIN ITU CERITA KH HASYIM UNTUK KIAYI KHOLIL BANGKALAN MADURA, SEBAB BELIAU ADALAH GURUNYA.

    JADI BEGINI RUNTUTAN BELAJARNYA: KH HASYIM BELAJAR KEPADA KIAYI KHOLIL BANGKALAN. KH. KHOLIL BANGKALAN BELAJAR KEPADA SYEKH NAWAWI SEWAKTU MASIH NYANTRI DI MEKKAH.

    TOLONG CEK LAGI YA MBAK..

    BalasHapus