TAFSIR
AL-MUNIR LI MA’ALIM AT-TANZIL
Karya: SYEKH
NAWAWI AL BANTANI
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak
asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan
kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277
M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional
yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan
masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang
menyejukkan.
Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu
dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf
sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim
keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah
naungan NU. Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal
sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great
scholar). Syeck Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan
batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut
banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang
sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Apabila KH. Hasyim Asyari sering
disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU,
maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab
karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang
kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena
besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para
ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan
dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai
keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir
keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar
ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang
sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang
seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah
perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual
keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang
merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak
muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif.
Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual
keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan
tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf.
Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten
merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi
keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam
pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan
pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Syekh Nawawi
dapat dikatakan sebagai poros dari. akar tradisi keilmuan pesantren dan NU.
Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah
pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran
dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.[1]
Biografi Syekh
Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama
lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia
lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di
Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1813 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal
1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia
dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi.
Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di
desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan
Syawwal selalu diadakan acara khaul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh
Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang
pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan
keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung
Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I)
yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad
melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin,
Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.[2]
Pada usia 15 tahun, ia mendapat
kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia
memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis,
tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali
ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup
lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. syeck Nawawi yang sejak
kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat
Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh
santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hati syeck Nawawi telah menyatu
dengan Kota Mekkah hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi
ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke
guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh
Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan
Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu
belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah.
Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia
melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria).
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung
halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian
pada tahun 1860 syeck Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi
mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia
tercatat sebagai Syekh di sana. [3]
Pada tahun 1870 kesibukannya
bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Terkadang Beliau menulis Kitab
hanya diterangi oleh lampu tempel (lampu yang berbahan bakar minyak tanah).
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta
untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari
sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di
daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering
ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar
adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang
populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarah selain karena
permintaan orang lain, syeck Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya
pendahulunya yang sering mengalami perubahan dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya syeck Nawawi
selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum di cetak
naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota
penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas
maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru
dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas
dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama syeck
Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19
M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’
‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mulaqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan
Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat
Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar
para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya.
Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di
pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu
dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses
pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Karya Nawawi Dalam Bidang Tafsir
Nawawi telah menulis, paling tidak,
tentang 9 bidang ilmu pengetahuan : tafsir, ushul ad-din, ilmu tauhid, tasawuf,
kehidupan Nabi, tata bahasa arab, hadits, akhlak( ajaran moaral islam). Jumlah
karyanya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak penulis, lebih dari 100.
Salah satu karya Nawawi yang sangat
dikagumi oleh ulama di Mekkah dan Mesir adalah Tafsir al-Munir li Ma’alim
at-Tanzil, atau dalam judul lain, Marah Labid Tafsir an-Nawawi. Tentang
tafsirnya yang berhalaman 985, yang terdiri dari 2 jilid dan diselesaikan pada
tahun 1889 ( rabiul akhir 1305 H), dia memperlihatkan kepada ulama untuk
meneliti dan memberikan komentar terhadap karyanya.
Dengan memerhatikan prestasinya
dibidang tafsir, para ulama menganugerahkan kepadanya gelar sayyid ulama
al-hijaz. Di akhir karirnya sebagai seorang alim di hijaz, gelarnya begitu
mengesankan sehinggan ia mengungkapkanrasa syukurnya kepada Allah atas karyanya
yang luar biasa ini, dengan menyusaun sebuah kumpulan puisi. Satu penggalan
puisinya menyatakan: “tidak diragukan, ilmu pengetahuan adalah sumber cahaya
yang menerangi pemiliknya. Dimanapun sang pemilik berada, dia akan senantiasa
dihormati.”
Nawawi mewakili non arab yang
menulis karya tafsirnya dalam bahasa arab yag sangat indah. Tidak seperti
Muhammad Abduh, Nawawi menampilkan a New classical tradisi tafsir, sebuah yang
tetap mempertimbangkan karya-karya ulama abad pertengahan. Namun, pada saat
yang sama menunjukkan kondisi-kondisi kekinian. Sementara Abduh lebih
dipengaruhi oleh ide-ide para pemikir Muktazilah, sedang Nawawi dipenngaruhi
oleh pemikiran ulama’ sunni abad pertengahan, seperti karya-karya ibnu Umar Katsir
al-Quraisi, jalaludin ad-din Mahalli, jalaluddin as-Suyuti, dan yang
sejenisnya. Lagi pula Abduh tampaknya lebih mengembangkan kekuatan analitis,
sedangkan Nawawi lebih bersandar pada, hadits, pendapat para sahabat, dan ulama
salaf terpercaya.
Kontribusi utama Nawawi dalam bidang
tafsir adalah bahwa dia telah menulis sebuah tafsir ketika dunia islam tidak
menunjukkan adanya tanda-tanda munculnya revitalisasi tradisi klasik islam.
Pada masanya hanya terdapat sejumlah kecil karya tafsir sejenis yang
dihasilkan. Situasi ini disebabkan oleh keengganan internal dikalangan muslim
untuk menulis tafsir karena adanya peringtan bahwa siapapun yang mengomentari
atau menafsirkan sesuatu di dalam al-Qur’an di dasarkan pada pendapatnya, ia
telah melakukan sesuatu kekeliruan. Dan nereka akan menjadi tempat kemballi
bagi siapa saja yang melakukan kesalahan itu. Nawawi sendiri benar-benar
mengalami kebimbangan yang cukup lama sebelum dia memutuskan untuk menulis
tafsir, meskipun banyak orng meyakinkan dan mendukungnyan untuk menulis.
Nawawi menyadari betul peringatan
hadits tersebut, namun akhirnya dia menulis tafsir dengan pengakuan bahwa dia
mengerjakan karya sederhana ini untuk menunjukkan keshalihan ulama salaf dalam
memelihara ilmu pengetahuan agar setiap orang dapat memperoleh manfaat darinya.
Dia juga menyadari bahwa dia tidak akan mampu menyamai karya-karya ulama salaf,
tetapi dia yakin bahwa dalam setiap periode harus ada pergantian dan pembaruan ( tajdid).
Selanjutnya Nawawi memohon kepada
Tuhan supaya karyanya akan membawa manfaat bagi kehidupan akhiratnya kelak, dia
menyadari sepenuhnya bhawa dia tidak terlepas dari unsur kekeliruan manusiawi.
Karena itulah, dia menyelesaikan tafsirnya dengan sangat cermat dan
menyandarkan semua karyanya kepada penjelasan al-Qur’an itu sendiri yang
terdapat pada ayat-ayat lainnya, hadits-hadits Nabi, pernyataan para sahabat,
dan salaf ash shalih.
Kekhasan karya Nawawi terletak pada
perhatian khususnya pada nilai pentingnya pengetahuan. Sebagai contoh dalam
menafsirkan induk al-Qur’an ( surah al-fatihah) dia menjelaskan dalam surat ini
memuat paling tidak empat bidang ilmu pengetahuan. Pertama, tauhid, keesaan
Tuhan atau teologi. Sifat-sifat ketuhanan tercakup dalam frase alhamdu li Allah
rabbi al-‘alamin, ar-rahman ar-rahim. Dan tugas-tugas Nabi di dalam alladzina
an’amta ‘alaihim. Hari pembalasan diartikulasikan dalam yaum ad-din. Kedua,
hukum islam dengan ibadah sebagai bagian terpenting. Pada dasarnya, hukum islam
terdiri atas aturan-aturan materiil maupun fisik yang berkaitan dengan maslah
kehidupan. Muamalah, kehidupan sosial, dan pernikahan. Semua termuat dalam
makna shiratal mustaqim. Ketiga, kesempurnaan ilmu yang sejalan dengan
moralitas islam. Ini termasuk istiqamah di jalan yang lurus. Sebagaimana yang
ditunjukkan dalam iyyaka nasta’in. Keempat, sejarah atau kisah pada masa
lampau. Kemuliaan yang perlu diteladani berasal dari para nabi, dan sebaliknya
bagaimana orang-orang yang merugi karena mereka tidak beriman, sebagaiman
termuat dalam alladzina an’amta ‘alaihim, dan berikutnya dalam ghair
al-maghdhubi ‘alaihimwa la adh-dhalin.[4]
Segi penting lain dari kitab tafsir
ini, sebagaimana terlihat dalam karya-karyanya adalah penekanannya terhadap
kesalehan dengan menyampaikan ajaran akidah(keimanan)dan keyakinan kepada Tuhan
dan petunjuk-Nya. Bisa kita lihat dalam muqaddimah dan khatimah kitab ini. Dia
selalu menaruh perhatian,terhadap kemaha kuasaan Allah dengan memuji sifat
pengasih dan penyayangNya. Di samping ituNawawi tidak pernah lupa menaruh pesan
amar ma’ruf nahi munkar. Sebagai peringatan kepada para pembaca. Dengan
menguatkan kterkaitan firman-firman serta janji-janji Tuhan dalam mencapai
kebahagian hidup dengan mengikuti teladan para Nabi, orang-orang terpercaya,
para syuhada, dan para leluhur. Pesan amar ma’ruf nahi munkar yang bisa
dijumpai dalam sebagian literatur sunni, mu’tazili, dan sunni, menunjukkan
dorongan kepada kaum muslim untuk tetap menunjukkan identitas yang lebih baik
di mata Tuhan dan manusia.
Masih sisi lain dari tafsir Nawawi
bahwa dalam karya tafsirnya disisipkan berbagai kisah menarik. Tersedia cukup
banyak dan komprehensif, informasi tentang Asbabun Nuzul. Semua itu didukung
oleh kepandaian dan kelihaian gaya penulisannya, yang tak seorangpun menyangkal
bahwa Nawawi memiliki background kuat dalam sastra dan tata bahasa arab.
Sejalan hal ini tafsirnya juga peuh dengan kekayaan explanasi linguistik dan
pendahuluan yang beragam dalm membaca al-qur’an oleh tujuh imam(qiraah
as-sab’ah).[5]
Penafsiran
terhadap al-qur’an yang dilakukan Imam Nawawi dengan tafsirnya yang berjudul
Marah Labid yang terdiri dari dua jilid
dan pertama kali diterbitkan pada tahun 1887, dan tafsir ini lebih dikenal
dalam masyarakat dengan nama tafsir munir.
Penamaan
al-Munir sendiri diberikan oleh pihak penerbit. Sedangkan nama yang diberikan
oleh imam Nawawi adalah Marah Labid. Arti dari marah labid sendiri secara
kebahasaan adalah “ terminal burung” atau dengan istilah lain “ tempat
peristirahatan yang nyaman bagi orang-orang yang datang dan pergi”. [6]
Karakteristik
dari penulisan kitab tafsir Marah Labid adalah kebahasaan, karena ia
mengaktualisasikan penafsirannya ini dimulai dengan terlebih dahulu bahasas
yang digunakan al-Qur’an, adapun metode yang digunakan imam Nawawi dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah metode Ijmaly.
Sedangkan
kecenderungan imam Nawawi dalam menafsirkan bernuansa fiqih dan tasawuf.
Meskipun ia tidak terjebak pada persoalan furu’( cabang-cabang ilmu fikih) dan
istidhlal ( dalil-dalil). Namun, ketika menafsirkan ayat yang berkaitan dengan
fikih, ia terlihat menafsirkannya dengan lebih detail. Adapun kecenderungan
pada tasawuf dalam menafsirkan al-qur’an dapat di;lihat ketika ia menafsirkan
ayat-ayat mutasyabihat.
Karakter
yang lebih menonjol lagi dalam segi bahasa terlihat sangat detail, karena
kepiawian beliau dalam bidang bahasa sangat memadai dan tidak diragukan lagi.
Para ulama menilai Marah Labid ini merupakan tafsir standar yang mudah
dimengerti oleh pembaca.
Dari
data yang penulis terima dijelaskan bahwa tafsir ini dicetak ulang oleh
penerbit al-halabi, kairo denagan layout yang disertai di bagian margin dengan
kitab al-wajiz fi tafsir al-Qur’an al-Ajiz karyaal-wahidi( w. 468/1076). Sejak
diterbitkan di kairo, tafsir ini tertulis di halaman covernya dengan nama. Dan Hal ini sama dengan yang tertera dalam cover
kitab Marah Labid yang diterbitkan oleh penerbit al-Hidayah Surabaya. Yaitu:
-
مراح لبيد – تفسير النوو ي
-
التفسير المنير لمعالم التنزيل – المسقر عن وخوه محاسن
التاءويل[7]
Di
lihat dari cover, tafsir ini memiliki dua nama, pertama al-munir dan kedua
al-tafsir Marah Labid. Dua kalimat pertama di atas diperkirakan nama tersebut
diberiakan oleh pihak penerbit. Sedangkan di baris terakhir berasal dari Nawawi
langsung. Asumsi ini didasari oleh pengakuan Imam Nawawi di pendahuluan tafsirnya bahwa kitab tafsir yang ditulisnya
ini sengaja dinamai dengan Marah Labid likasyafi manaQur’an majid. Sedangkan nama tafsir al-munir tidak disinggung sedikitpun di
pendahuluannya. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa imam Nawawi memang menulis
karya ini dengan memberi nama Marah Labid tetapi ketika naik cetak penerbit
membubuhkan nama lainyakni al-munir.
Boleh
jadi penamaan al-tafsir al-munir merupakan harapan tentang wacana islam yang
tengah berubah. Satu harapan yang ingin menempatkan tafsir marah labid menjadi
juru penerang dalam masyarakat islam.
Dalam
tafsirnya ini, imam Nawawi mengatakan bahwa sebenarnya sebelum menulis tafsir
ini, ia ragu melakukannya. Ia berfikir lama karena khawatir termasuk ke dalam
orang yang sebagaimana dinyatakan oleh nabi muhammad SAW. “ Barang Siapa
berkata teentang al-qur’an dengan pikiran walaupun benar tetap dinyatakan salah.”
“ barang siapa berkata tentang al-qur’an dengan pikirannya, sama dengan
mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan tempat di dalam neraka.”
Pada
jilid pertama marah labid ini di mulai dari surah al-fatihah sampai dengan
surah al-kahfi dan jilid dua di mulai surah maryam sampai surah an-nas.
Penafsiaran yang terlihat dalam kitab marah labid terdapat di dalam garis,
sedangkan di luar garis adalah kitab al-wajir tafsir al-qur’an al-aziz oleh
Imam Ali bin Ahmad al-Wahidi yang meninggal pada tahun 468 H.
CONTOH PENAFSIRAN DALAM KITAB MARAH LABID ( TAFSIR MUNIR) KARYA NAWAWI AL-BANTANI
Contoh 1. Penafsiran dalam kitab
Munir karya Nawawi al-Bantani, ali- Imran ayat 169. Dalam menafsiri al-Qur’an
Nawawi banyak menyertakan Asbabun Nuzul, mengaitkan dengan ayat lain, dan
menukil beberapa hadits Nabi yang seirama dalam pemaknaan dengan ayat tersebut.
wur ¨ûtù|¡øtrB tûïÏ%©!$# (#qè=ÏFè% Îû È@Î6y «!$# $O?ºuqøBr& 4 ö@t/ íä!$uômr& yYÏã óOÎgÎn/u tbqè%yöã
Ayat ini diturunkan ketika perang
uhud, jumlah mujahid yang meninggal dari golongan muhajirin ada 74 orang ,
salah satunya hamzah bin Abu muthalib, dll.[8]
Dalam menafsiri ayat ini, Nawawi
juga menyertakan ayat yang turun ketika perang badar. Dengan mengunakan redaksi
“ sedangkan ketika perang badar diturunkan ayat pada surah al-baqarah ayat 154,
wur (#qä9qà)s? `yJÏ9 ã@tFø)ã Îû È@Î6y «!$# 7NºuqøBr& 4 ö@t/ Öä!$uômr& `Å3»s9ur w crããèô±n@
Nawawi juga menyertakan hadits Nabi
dalam penafsiran tersebut
artinya
sesungguhnya Nabi SAW menyifati para syuhada’ bahwa sesungguhnya arwah mereka
di tempatkan di paruh burung berwarna hijau, dan para arwah tersebut mendatangi
sungai-sungai di surga, makan buah-buahan di surga, dan bisa beristirahat
setiap saat, bisa bertempat di permadani di bawah ‘Arsyi.[9]
Contoh 2. Dalam menafsiri ayat
Nawawi juga menukil pendapat para ulama, termasuk Imam Syafi’i.
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ
Ayat ini di tafsiri Nawawi dengan redaksi “ shalat al- wustha adalah shalat
yang utama, yaitu shalat subuh, pendapat ini menurut Ali, Umar, Ibnu Abbas, jabir,
Abi imamah al-bahli, yang semuanya dari golongan para sahabat. Juga pendapat
imam thous, imam ‘atha’, ikrimah, dan imam mujahid yang kesemuanya tersebut
sejalan dengan madzhab Syafi’i. Shalat subuh itu dikatakan utama karena
merupakan shalat yang munfarid, waktunya hanya satu waktu( tidak bisa dijama’dengan
shalat yang lainnya), shalat subuh itu juga di datangi malaikat malam dan
siang. Dalam penafsiran shalat wustha sebagian ulama’ ada yang menyatakan bahwa
wustha di sini adalah shalat asar. [10]
[1] http
: guru-guru di tanah jawa.com diakses tanggal 18 maret 2012
[2]
Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek
pesantren( jakarta : kencana, 2006), hal 110-112
[3]
Ibid. Hal 118
[4]
Abdurrahman mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan
arsitek pesantren, hal. 132. Sebagaimana tertera dalam karya Nawawi, tafsir Marah Labid, hal 2-3
[5]Abdurrahman
mas’ud, dari haramain ke nusantara : jejak keintelektualan arsitek pesantren,
hal. 133-134
[6]
Segar rasa. Com. Syihabuddin, penelitian tafsir nawawi pdf. Diakses tanggal 26
maret 2012
[7]
Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal cover
[8]
Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir, ( Surabaya: al-hidayah,tt)hal 129
[9]
Ibid. Hal. 129
[10]
Imam Nawawi, Marah Labid Tafsir Munir,hal. 77
MBAK TOLONG CEK LAGI. TENTANG CERITA KH HASYIM DAN SYEKH NAWAWI BANTEN. SEBAB SYEKH NAWAWI BANTEN LAHIR TAHUN 1277 SEDANG KH HASYIM LAHIR TAHUN 1875. MUNGKIN ITU CERITA KH HASYIM UNTUK KIAYI KHOLIL BANGKALAN MADURA, SEBAB BELIAU ADALAH GURUNYA.
BalasHapusJADI BEGINI RUNTUTAN BELAJARNYA: KH HASYIM BELAJAR KEPADA KIAYI KHOLIL BANGKALAN. KH. KHOLIL BANGKALAN BELAJAR KEPADA SYEKH NAWAWI SEWAKTU MASIH NYANTRI DI MEKKAH.
TOLONG CEK LAGI YA MBAK..