Powered By Blogger

Minggu, 21 April 2013


KARTINI DAN “ MEREKA”([1]): SIMBOL FEMINISME DI INDONESIA  

Membincang kartini, kita akan diingatkan dengan teman-teman pendekar wanita semisinya, seperti : Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dll. Mereka para pengusung semangat pengangkatan harkat wanita  pada masa mereka hidup. Walaupun pada saat itu mereka tak  mengatakan bahkan tak pernah  tahu bahwa mereka adalah tonggak lahirnya pembebasan para perempuan dari belenggu kekuasaan yang menindasnya. Mereka layak digelari pahlawan nasional bahkan jika tak berlebihan dan terlepas dari memang penulis dengan mereka adalah sesama kaum perempuan maka julukan Srikandi Nusantara memang pantas disematkan kepada mereka.
Dalam tulisan sederhana ini penulis akan sedikit memaparkan gagasan pemikiran para tokoh wanita diatas. Uraian sekilas tentang feminisme akan menjadi pembuka dalam tulisan kecil ini. Harapan penulis,  semoga tulisan ini bisa menjadi semacam semangat bagi siapapun yang mau melihat kekuatan besar yang tersembunyi di balik kerapuhan para wanita, khususnya bisa menjadi hikmah penulis dalam menyusuri jalanan kehidupannya. 

Feminisme Melintang Dunia
            Mengutip definisi Kadarusman dalam bukunya Agama, Relasi gender & Feminisme,  feminisme adalah gerakan kritis terhadap simbol, ideologi, dan kultur yang memperlakukan perempuan secara tidak  adil. Feminisme hendak melakukan dekontruksi terhadap sistem sosial yang merugikan perempuan. Dalam definisi lain, feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
            Feminisme muncul dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.  Setelah Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada tahun 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung dari pada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum.  Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di kota Middelburg, Belanda.
            Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenaga kerjaan peran perempuan mulai meningkat. Sedangkan pada tahun 1920 perempuan Inggris mulai diperbolehkan bekerja di luar rumah. Sedangkan di Perancis, pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa izin dari suami dan atau tanpa memakai nama suami.
            Pada tahun 1914-1918 dan tahun 1939-1945 saat terjadi perang dunia I dan II, para perempuan sudah mulai andil dalam perang walaupun hanya sekedar menjadi petugas palang merah dan sebagai pengamat lalu lalang pesawat terbang. Dan pada tahun 1970, kampaye tentang hak-hak perempuan mulai giat dikumandangkan. Pada tahun itu sudah banyak perempuan yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Mereka sudah mulai memiliki hak suara dalam pemilu, bahkan mereka juga menduduki jabatan-jabatan penting dalam jalannya roda pemerintahan negara. 

RUH FEMINIS DALAM GAGASAN  KARTINI DAN MEREKA([2])
            Dalam semangat feminisme yang mengusung ide kesetaraan gender( persamaan hak-hak laki-laki dan perempuan), selalu diawali dengan ketimpangan dalam sebuah bangunan sistem sosial. Seperti halnya kartini dan “mereka”, mereka berani tampil beda dengan gagasan pemikiran yang sudah terpakemkan. Pakem yang merugikan satu pihak memang ada saatnya akan memunculkan satu pergolakan. Deskriminasi sudah saatnya hilang dari bumi yang damai ini.
Tokoh perempuan yang sering dijadikan simbol gerakan emansipasi di Indonesia adalahKartini. Namun, bukan hanya kartini saja yang bisa dijadikan tokoh dalam gerakan emansipasi wanita. Ada nama Dewi Sartika, mereka agaknya bisa sandingkan dalam pemikirannya. Mereka berdua berjasa dalam perkembangan awal adanya pendidikan perempuan. Kartini mulai menyadari adanya belenggu budaya patriarkhi dalam masyarakat jawa, sejak dia banyak bertukar pikiran dengan sahabat karibnya dari Belanda, Rosa Abendanon.
 Pemikiran Kartinipun bergeser dari pemikiran para wanita jawa saat itu. Ia menginginkan para perempuan bisa bersekolah, memperoleh pendidikan seperti halnya para laki-laki. Wanita jawa pada saat itu memang tak diperbolehkan sekolah kecuali dia berasal dari kalangan bangsawan. Beruntung kartini pada saat itu bisa sekolah di ELS (Europese Lagere School), disanalah kartini belajar bahasa Belanda. Walaupun ia hanya diperbolehkan sekolah sampai berumur 12 tahun, namun ini sudah cukup membuat  kartini tergoda untuk meneruskan jenjang sekolahnya. Dalam surat-surat yang ditujukan kepada sahabatnya di Belanda, terungkap bahwa sebenarnya ia ingin meneruskan ke jenjang pendidikan kedokteran di Belanda. Keinginan itu  lenyap bersama menikahnya Kartini dengan bupati Rembang, pria yang sudah memiliki tiga isteri. Pada akhirnya kartini mendirikan sekolah untuk perempuan pertama di daerahnya. Hal itu kebetulan di dukung oleh suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat .
Dalam hal pemikiran, RA. Kartini begitu mirip dengan semangat para tokoh feminis, hal ini terungkap dalam surat-suratnya yang dikumpulkan oleh Rosa Abendanon. Walaupun kevaliditasan surat-surat itu sering dipertanyakan, namun gagasan dalam pemikiran yang tertuang dalam kumpulan surat-surat itu layak kita baca. Bahkan kumpulan surat-surat itu pada akhirnya di terbitkan dalam bentuk buku di belanda. Dan juga di cetak dalam edisi Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Surat-surat Kartini berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Dalam hal kemajuan pendidikan para wanita, Dewi Sartika agaknya hampir sama dengan Kartini. Dan ini berbeda dengan dua pendekar wanita Indonesia yang akan kita bicarakan selanjutnya. Dua pendekar itu adalah Chut Nyak Dien dan  Martha Christina Tiahahu. Mereka seperti halnya Aisyah, isteri rasul ketika menjadi panglima perang jamal. Mereka berdua turut serta dalam peperangan melawan penjajah di Bumi Nusantara.
Dalam perjuangan itu ia berangkat dari sakit hati karena suaminya syahid di tangan penjajah,  akhirnya Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, seorang tokoh yang melawan Belanda yang memberikan dia peluang untuk terjun ke medan perang.
Pendekar perang wanita selanjutnya adalah Martha Cristina Tiahahu. Wanita pemberani ini berjuang untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda pada era perang Pattimura. Perjuangan yang berakhir dengan kematian di medang perang, telah mengharumkan namanya berada di deretan pahlawan nasional perempuan.
Secuplik sejarah di atas, barangkali bukan hal yang baru lagi dalam khazanah cerita perjuangan pra kemerdekaan. Namun, dampak maupun semangat perjuangan kaum wanita untuk berada setara dengan kaum laki-laki agaknya mulai digagas oleh para pejuang pendahulu. Kita sebagai generasi penerus bangsa, seyogyanya mengikuti jejak perjuangan mereka. Berjiwa pemberani bak Cut Nyak Dien dan Martha Cristina Tiahahu, berpikiran maju dan intelektualis seperti Dewi Sartika dan Kartini. Menjadi perempuan tangguh, namun tetap menjadi ibu bagi anak-anak kita.
Semangat hari kartini dan “mereka”......

Ponorogo, 21 April 2013
Maghfiroh/ghofirassyifa/ STAIN Ponorogo








             
           











[1] Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan para perempuan  Indonesia yang peduli dengan haknya.
[2] Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan para  perempuan  Indonesia yang peduli dengan haknya.

Minggu, 17 Februari 2013

PUISI Untuk Bapak.

BAPAK....

Teriring salam rindu yang teramat dalam untuk bapak “di alam sana”
oleh: ghofirassyifa @maghfilosofiroh

sudah berapa tahun pak,
sejak kepergianmu dari dunia ini,
aku mengubur rinduku,
bersama jasad bapak tercinta.

Rindu ini ternyata tak pernah hilang,
meski jarak antara aku dan bapak,
tak pernah bisa terhitung dalam kilometer,

gulir waktu mengajakku bernostalgia, 
mengingatkanku tentangmu pak,
tentang kepergian bapak yang terlalu cepat,
tentang perpisahan yang memilukan jiwa.

mungkin,
hanya kata rindu yang saat ini ada.
Untuk melukiskan sendu,
dalam jiwaku yang gersang,
hingga air mata ini menetes deras,
dalam gamang kerinduan.

Bapak..........
aku rindu untuk memanggilmu, ..
Semoga Engkau tenang di sana. 


Ponorogo, 16 Februari 2013
Pojok Majlis

Rabu, 13 Februari 2013

Kidung Luka Cinta Rahma


Kidung Luka Cinta Rahma
By:Maghfiroh@ghofirassyifa

Menemukan lagi kisah cinta yang tak pernah bertemu dalam satu titik
Layu, sebelum bunga-bunga itu resmi merekah
Berdendang lagu sendu
Memainkan irama-irama tersayat
Menggiring mata untuk terus mengalirkan air mata kesedihan
Lagi.. lagi...
Seorang laki-laki membiarkan bidadarinya  meringkuk dalam kesunyian
Meninggalkannya sendiri,
Melewati relung-relung kehidupan
Merasakan curamnya patah hati
Mendayung angin kering tanpa kasih
Berlari kencang melewati padang ilalang penuh luka
Berharap bertemu pangeran tanpa sayap
Yang tak akan pernah lagi meninggalkan bidadarinya
Memeluk malam sendiri..
18.30  wib
Majlis mania
6 januari 2013
Untuk temanku yang pernah merasakan pedihnya patah hati

Sabtu, 22 Desember 2012

Prodi Tafsir Hadis dalam Keistimewaan


Prodi Tafsir Hadis dalam Keistimewaan
Add caption
Oleh: Maghfiroh*[1]
Memilih dan menekuni studi Tafsir Hadis merupakan cita-cita sedikit orang. Hal ini terbukti dengan  jumlah mahasiswa program studi tafsir hadis yang lebih sedikit dibandingkan dengan program studi yang lainnya. Walaupun, memang masih mungkin ada yang lebih sedikit lagi mahasiswanya dibandingkan Prodi TH, akan tetapi TH untuk saat ini masih tergolong prodi yang minim peminat. Fakta ini bisa contohkan dengan yang ada di kampus saya ( STAIN Ponorogo. red). Dari 1015 mahasiswa baru yang masuk tahun ini, tercatat hanya ada 35 orang yang terdaftar sebagai mahasiswa Prodi TH. Ironis bukan?.
Namun demikian, sedikit dalam hal kuantitas tidak selalu paling rendah dalam hal kualitas. Mahasiswa Prodi TH  selalu berusaha menjadi pioner dalam segala lini di gelanggang kampus kami tercinta. Berbagai kegiatan keintelektualan mulai kajian mingguan, pelatihan, dan seminar berhasil kami gelar sebagai ajang pengembangan SDM kami. Upaya perluasan jaringanpun sedang kami galakkan, seperti halnya keikut sertaan kami dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis  Indonesia (FKMTHI) ini, diharapkan bisa membawa kemajuan Prodi Tafsir Hadis di kampus kami. Forum yang secara tidak langsung memberikan kesempatan studi banding dengan kampus lain. Informasi-informasi baru tentang Tafsir Hadis bisa kita akses dengan mudah. Forum yang kami harapkan  bisa bertindak sebagai wadah kreasi dan penyalur ide menuju masa depan TH yang cerah.   
            Salah seorang dosen progresif di kampus kami, pernah menasihati kami tentang satu hal, bahwa sebuah objek akan menjadi istemewa tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Seperti halnya kajian tafsir hadis akan menjadi suatu hal yang istimewa jika kita memperlakukannya secara istimewa. Yang menjadi pertanyaan tentu Perlukah sebuah perlakuan istimewa dalam kajian tafsir hadis?  langkah apa yang harus kita lakukan untuk menjadikan kajian tafsir hadis itu menjadi istemewa? Siapa saja yang berwenang menjadikan kajian tafsir hadis menjadi istemewa?. Beberapa pertanyaan diatas akan mengawali tulisan sederhana penulis ini.


Istimewa: Prodi Tafsir Hadis mendunia
             Program Studi Tafsir-Hadis mempunyai hajat dapat menghasilkan sarjana yang menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu Hadis, sarjana yang mampu memproduksi pemikiran-pemikiran baru yang berasal dari dua sumber pokok Islam tersebut. Dua sumber hukum islam yang selalu menjadi rujukan istimewa bagi para penganutnya. Sebagai sumber rujukan pertama dan kedua dalam pengambilan keputusan ajaran islam, tentunya kajian terhadap dua objek tersebut menjadi hal yang sangat dibutuhkan selama agama Islam masih dianut oleh manusia di bumi ini.
Problem-problem baru yang muncul dalam masyarakat saat ini, tentunya membutuhkan penyelesaian baru. Membutuhkan penafsiran baru yang ramah lingkungan, yang bisa membawa rahmat bagi seluruh alam.  Seperti jargon agama Islam, agama  rahmatal lil ‘alamin. Dari sini, program studi tafsir hadis, menjadi penting adanya.
Memperlakukan kajian studi tafsir hadis secara istimewa agaknya menjadi kewajiban bagi semua umat Islam. Khususnya, pihak-pihak yang terlibat dalam pengkajian tafsir hadis. Langkah konkrit untuk menjadikan kajian hadis menjadi hal yang istimewa menurut hemat penulis adalah dengan mengadakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tafsir hadis. Selain kajian dalam forum-forum kecil, diskusi, pelatihan, ataupun seminar yang sudah sering dilakukan, sebuah ajang kompetisi dalam hal pengkajian tafsir hadis pun bisa kita coba untuk memberikan ruang khusus bagi masyarakat Prodi Tafsir Hadis di Indonesia.
Selanjutnya, upaya pembukuan hasil-hasil dari berbagai kegiatan pengkajian tafsir hadis juga perlu dilakukan, mengingat masih minimnya buku-buku tafsir hadis. Dalam hal peredaran buku, dibandingkan dengan buku-buku tentang kajian tafsir, buku-buku tentang kajian hadislah yang masih sangat minim menurut sepengetahuan penulis. Maka dari itu, mengabadikan kajian tafsir hadis dalam bentuk buku, bisa menjadi alternatif  pengkajian hadis semakin istimewa.
Memberi bekal para mahasiswa Prodi Tafsir Hadis dengan kemampuan berbahasa Arab dan berbahasa Inggris dengan baik dan benar dirasa sangat penting, selain itu kemampuan mahasiswa dalam penggunaan IT juga menjadi hal yang sangat dibutuhkan. Mahasiswa Tafsir Hadis yang menguasai IT akan berbeda dengan mahasiswa yang gaptek. Kemajuan zaman yang semakin pesat menuntut Prodi Tafsir Hadis untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.
Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa Prodi Tafsir Hadis akan menjadi istimewa dan diminati banyak orang dengan berbagai langkah konkrit. Publikasi dalam bentuk kajian-kajian ilmiah, pembukuan hasil-hasil kegiatan, pemberian bekal kemampuan berbahasa asing dan penguasaan di bidang IT menjadi faktor terpenting dalam mewujudkan cita-cita tersebut. Upaya-upaya ini tentunya memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, mulai dari mahasiswa, dosen, dan para pejabat sang pembuat kebijakan. Dibutuhkan para akademisi yang kreatif, pengajar yang memang kompeten dalam bidangnya, dan juga kucuran dana khusus dari para penyokong pendidikan untuk  Prodi Tafsir Hadis.
Wallahu a’lam. Salam Tafsir Hadis se- Indonesia.
Ponorogo, 9 Oktober 2012


[1] Mahasiswa Program studi Tafsir Hadis semester VII, sedang memangku amanah sebagai Ketua Senat Mahasiswa Jurusan Ushuluddin STAIN Ponorogo masa risalah 2012

Rabu, 08 Agustus 2012

Selayang Pandang SMJ Ushuluddin STAIN Ponorogo


SENAT MAHASISWA JURUSAN
(SMJ) USHULUDDIN
KBM STAIN PONOROGO

SMJ USHULUDDIN
THEOLOGY REVIVAL MUST GO ON….
Sama Kosongnya seperti papan tulis sebelum guru datang
Mahasiswa Ushuluddin adalah ibarat pisau. Yang asalnya adalah sebuah besi tebal, kemudian dibakar-bakar dan dipukul-pukul hingga lempeng, sampai akhirnya menjadi pisau. Namun tidak cukup hanya menjadi sebuah pisau yang utuh, ia perlu sering diasah, sehingga dalam penggunaanya akan tetap tajam dalam membelah ataupun memotong apapun. Maksudnya adalah mahasiswa Ushuluddin harus sadar tentang proses, mulai pertanyaan terkesil apa itu proses, bagaimana ia berproses, mengapa ia berproses, apa yang sekarang dan yang akan dilakukan untuk berproses semuanya berkelanjutan dan bertahap. Adakalanya juga, ia menyadari pentingnya proses pada awal-awal ia masuk Ushuluddin, namun terkadang sang mahasiswa ini tersadar akan kebutuhanya pada saat-saat terakhirnya ia menjadi seorang mahasiswa. Mulai dari kebutuhan intelektual, kebutuhan organisasi, kebutuhan gerakan dan mungkin juga akan jaringan. Oleh karena itu, mahasiswa Ushuluddin harus paham ini sejak dari awal masuk.
Akan tetapi yang akan menjadi focus orientasi mahasiswa ushuluddin adalah keintelektualan. Karena bila dilihat dari bobot keilmuanya, contohkan disana filsafat, sosiolgi dan tafsir hadits. Apabila digabungkan tentu akan menjadi sebuah bobot keilmuan yang sangat tinggi dalam ilmu pengetahuan, karena dapat menggabungkan akal, pengalaman (realitas social) dan metodologi. Sehingga mahasiswa diajak untuk berfikir secara rasional dan masuk akal (menurut perspektif individu yang dapat dipertanggung jawabkan) serta harus sesuia dengan realitas social yang ada kontekstual. Selain itu juga diharuskan untuk menggunakan metodologi yang benar, agar nantinya menjadi suatu karya intelektual yang dapat dipertanggung jawabkan secara akademis, moral dan social.
Mahasiswa Ushuluddin harus punya tanggung jawab keilmuan. Karena keilmuan di Ushuluddin harus sesuai dengan kebutuhan dan porsi masyarakat dalam artian dapat dikontekstualisasikan. Karena sekarang banyak sekali keilmuan yang hanya mengedepakan rasionalitas secara subjektif (terjebak euphoria hasil karya individu/kebenaran yang hanya benar menurut dirinya sendiri) dan meninggalkan keilmuan yang bersifat rasionalitas  objektif (realitas social). Karya intelektual tersebut dapat menjadi sebuah tonggak perubahan dalam segala hal. Sehigga tidak akan mengalami stagnasi atau kemandekan keilmuan. Dan tidak hanya akan menjadi kepuasan intelektual secara individual belaka dan menghiraukan, serta tidak mempertanggung jawabkan keilmuanya dalam lingkup realitas social. Kalau boleh mengambil sample adalah lulusan dokter sekarang lebih mengedepankan eksklusivitasnya. Mereka berpakaian layaknya seorang pejabat, sehingga dari sini muncullah jarak yang menghalangi dan menciptakan keterputusan sebuah jalinan keharmonisan keilmuan social. Karena seharusnya mereka dituntut sebagai creator of change atau pencipta perubahan dalam masyarakat ataupun Negara. Dari sini ia harus lebih tahu tentang realitas yang ada, tentang gerak-gerik mereka, tentang bagaimana mereka memandang, tentang cara apa yang mereka harus semestinya lakukan dan tentunya tentang kapan perubahan itu akan menjadi sebuah sumber kekuatan dan motivasi yang positif bagi semua kelompok, bagi semua lini, bagi semua golongan, serta dapat menjadi tonggak terbangunnya Negara kita yang telah lelap tertidur dalam romantisme reformasi. Yang telah menyebabkan bangsa yang besar ini hanya akan menjadi singa yang kelaparan dan tidak punya kekuatan untuk bangkit kembali.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang, banyak sekali yang ingin kita evaluasi serta refleksi. Terutama apabila kita menghadapi permasalahan keintelektualan mahasiswa. Seperti apakah sebetulnya mahasiswa terutama Ushuluddin dapat menggapai sebuah cita-cita keintelektualan yang diharapkan dari ruang yang kosong, menjadi sebuah ruang yang penuh dengan imajinasi dan motivasi, serta keyakinan dan kepercayaan diri yang kuat. Sebuah harapan besar bila dari obrolan-obrolan warung kopi (diskusi) yang dilakukan dapat membudaya menjadi inspirator sebuah kelompok yang lebih besar dalam hal pemikiran dan gerakan. Sehingga harapanya juga mahasiswa Ushuluddin dapat selalu menjadi puncak kepemimpinan dalam sebuah kelompok, tim ataupun organisasi. Dan suatu hal yang memungkinkan jika mahasiswa ushuluddin dapat menjadi pewaris tongkay estafet kepemimpinan dalam masyarakat dan Negara.
Menurut subjektif kami, mahasiswa ushuluddin diharapkan mempunyai pola pikir yang antisipasif. Pola pikir yang antisipasif adalah suatu pemikiran yang lebih condong menanggapi sesuatu yang sedang dan akan terjadi. Pola pikir ini mengakui perkembangan yang linier, baik yang terduga ataupun yang tidak terduga. Keunggulan pola pikir ini adalah kemampuan memaknai fenomena dengan ketajaman logis-teoritis, sedangkan kesadaran etiknya mengharapkan perkembangan masa depan. Jadi pola pikir ini mencoba untuk menghadapi tantangan-tantangan masa depan, kendatipun langkah yang ditawarkan itu bertolak dari perkembangan fenomena sekarang ini. Pemikir yang berpola ini sering bicara tentang tantangan yang dihadapi sekarang dan yang akan datang sekaligus solusinya.
Pemikir yang berpola antipasif itu dapat dilacak ketika dia menilai ada beberapa masalah yang perlu dibenahi dalam budaya mahasiswa terutama ushuluddin, antara lain : kemampuan beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan metodologis dan perluasan cakrawala wawasan kemasyarakatan yang terus mengalami transformasi. Oleh karenanya perlu injeksi metodologis dengan cara :
1.      Memberikan peranan aktif (dalam hal ini SMJ Ushuluddin) dalam proses pembelajaran yang androgogik (pendidikan orang dewasa) mulai dari konsep diri (berbasis kemandirian), peranan sebuah pengalaman (proses mengalami), kesiapan belajar (motivasi) dan orientasi belajar.
2.      Membiasakan membuat abstaksi dan menangkap ide-ide dasar dalam buku yang dikaji atau kajian yang sedang dijalani.
3.      Memperbanyak diskusi untuk mencarikan titik temu antara konsep dan aplikasi, antara hukum-hukum dengan realitas social yang ada.
Untuk itu, mahasiswa Ushuluddin kedepanya dapat mendalami dan mewariskan keilmuan, memiliki integritas moral, kepekaan social, keterbukaan, semangat menyerap informasi yang intens dan analisis yang tajam. Idealisme ini disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang muncul di masa yang akan datang, berdasarkan fenomena-fenomena yang terjadi sekarang sebab masyarakat yang akan datang lebih condong menggunakan pertimbangan-pertimbangan raisonal. Kalau bisa diibaratkan keadaan masyarakat sekarang adalah “Rakyat sudah tidak lagi butuh demokrasi akan tetapi mereka butuh makan. Karena rakyat sudah tidak betah di negeri sendiri (Negara demokrasi), mereka lebih memilih mencari sandang pangan diluar negeri (yang notabene bukan Negara demokrasi)”. Oleh karena itu, Negara ini membutuhkan orang yang cerdas dan bukan sekedar orang yang rajin.
Disinilah letak SMJ Ushuluddin sebagai pendorong mahasiswa untuk menjadi seorang inovator, fasilitator, dinamisator, motivator, katalisator atau menjembatani semua cita-cita atau harapan dari mahasiswa Ushuluddin seperti apa yang tercantum diatas. Agar kelak mahasiswa mempunyai daya saing serta daya jual. Yang mana sekarang tuntutanya adalah untuk selalu kompetitif dalam segala hal. Apalagi kita sudah dihadapkan dengan permasalahan globalisasi/sebuah bentuk kapitalissme baru, yang tidak bisa lagi dipandang remeh. Karena telah banyak kerugian serta kerusakan yang telah dilakukan.
Dalam sebuah kepengurusan organisasi kami juga mempunyai bidang-bidang yang mempunyai tanggung jawab penuh terhadap anggota-anggotanya, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan serta sampai pada tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Kami mempunyai beberapa tim kerja yang mana satu sama lain untuk saling membantu dan saling mengkritisi dalam tanda kutip, kritikan yang bersifat membangun. Diantaranya :
1.      Bidang Pengembangan Sumberdaya Manusia
Salah satu tugas pokoknya adalah menggodok keintelektualan mahasiswa Ushuluddin serta berperan aktif dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Bidang ini kerap mengadakan diskusi-diskusi ilmiah dengan tema variatif setiap minggunya, seperti  sosial, keagamaan, dll. Forum diskusi ini dinamai Forum KenCan (Kenduri Wacana)
2.      Bidang Publikasi
Dari bidang inilah unsure jurnalistik dalam SMJ Ushuluddin timbul. Melalui minimags SAPULIDI clean old pleasures, mahasiswa Ushuluddin bisa menyalurkan bakat dan minatnya dalam bidang kajian dan jurnalistik.
3.      Bidang Komunikasi dan Informasi
Tugas intinya adalah menjalin hubungan dan kerjasama dengan lembaga lain serta mengupayakan pengembangan bagi SMJ dan mahasiswa ushuluddin umumnya.  Untuk jaringan tingkat Nasional, sekarang SMJ Ushuluddin tergabung dengan Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadits se-Indonesia (FKMTHI).
Demikian sedikit pengantar, semoga bermanfaat bagi semuanya. Dan harapanya, mahasiswa ushuluddin lebih bisa kompetitif dan bisa menjadi innovator di segala lini, baik keintelektualan maupun dunia pergerakan. God bless. Emin.
“sesungguhnya setiap revolusi pemikiran bermula dengan pembebasan perspektif pemahaman dari doktrin lama menuju pada perspektif dan aksioma baru. Kita harus melepaskan diri dari symbol masa lalu yang hanya menandai pengalaman dan pengetahuan yang telah menghilang dan menggantikanya dengan symbol-simbol baru.



STRUKTUR PENGURUS SMJ USHULUDDIN
MASA RISALAH 2012

KETUA                     : MAGHFIROH                    
WAKIL KETUA      : KHAFIDZ ISTARDLO     
SEKRETARIS          : HENIK SUHULIN
BENDAHARA          : ANTIKA HAYUN PRIMADANI


BIDANG PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA:
·         AHMAD SYAIFUDDIN (CO)
·         ENIK SITI NUR JANNAH
·         IMAM SUDARMOKO
·         HANIFUDDIN ZUHRO
·         ALI MUSTOFA
·         SITI MAHMUDAH
BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMASI:
·         AFIF SYAHRUL HADI (CO)
·         HISYAM CHUMAIDI
·         IMAM MALIKI
·         AGAM FAID RIDLO
·         MUDDA’IYATUL HASANAH
·         AMRON ROSYIDI
BIDANG PUBLIKASI:
·         ZULFATUN NAIMAH (CO)
·         ILHAM JAUHARI
·         M. HAMID GHUFRONI
·         GHOFURUROHIM
·         USTMAN ZAINUDDIN