Powered By Blogger

Minggu, 01 Juli 2012

filsafat komunis


FILSAFAT KOMUNIS
Oleh: Maghfiroh(ghofirassyifa@gmail.com)
A.    PENGERTIAN KOMUNIS
Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifes politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme di awal abad ke-19an, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi.
Definisi komunisme atau paham komunisme. Paham komunisme adalah paham yang merupakan sebagai bentuk reaksi atas perkembangan masyarakat kapitalis yang merupakan produk masyarakat liberal. Berkembangnya paham individualisme liberalisme di barat berakibat munculnya masyarakat kapitalis. Menurut paham komunisme, hal itu mengakibatkan penderitaan rakyat. Komunisime muncul sebenarnya sebagai reaksi penindasan rakyat kecil oleh kalangan kapitalis yang didukung oleh pemerintah. Bertolak belakang dengan individualism kapitalisme, paham komunisme yang dicetuskan melalui pemikiran Karl Marx memandang bahwa hakikat kebabasan dan hak individu itu tidak ada. Paham komunisme dalam memandang hakikat hubungan Negara dengan agama meletakkan pada pandangan filosofisnya yaitu materialisme diakletis dan materialisme historis. Hakikat kenyataan tertinggi menurut komunsime adalah materi.[1]
B.     SEKILAS TENTANG KAPITALISME
Kapitalis telah mendehumanisasikan manusia(tidak memanusiakan manusia) dan membendakan manusia. Seperti kutipan tulisan marx dalam buku Eko P. Darmawan, “kapitalis adalah bangunan social yang memanusiakan benda dan mereifikasikan manusia., dan menjadikan sarana sebagai tujuan dan menjadikan tujuan sebagai sarana.”
Pada masa revolusi teknologi, berarti juga revolusi cara produksi manusia. Dan berpengaruh juga pada revolusi cara kerja, maka muncullah pembagian kerja. Adam semit mengajarkan bahwa totalitas proses kerja akan maksimal jika proses produksi dipecah-pecah menjadi beberapa unit kerja, dimana masing-masing unit hanya mengerjakan satu komponen dari totalitas proses produksi tersebut. Dari sini, terjadilah perubahan radikal dalam makna kerja. Bekerja bukan lagi untuk mengejawentahkan dan mengembangkan diri manusia secara objektif, namun merosot menjadi skrup dari produksi missal. Dia mengalami dehumanisasi. Dia tak lagi bekerja sebagai manusia secara manusiawi. Dan diapun tidak menemukan pekerjaan dalam pekerjaannya, dia tak lagi melayani tuuan-tujuan sejati dari esensi manusia, namun untuk muelayani kepentingan laba dan pemodal.[2] 
Dalam system kapitalisme, dalam memproduksi barang, segalanya harus kembali melebihi dari investasi modal pertama. Laba harus dicari sebanyak-banyaknya. Proses produksi harus terus menerus dijalankan. Dengan pertimbangan memberi upah buruh dengan serendah-rendahnya. Dari kapitalisme ini maka akan muncullah sikap konsumtivisme dari masyarakat. Semua orang bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhannya.
Hal di atas dikritik karl marx. Bagi karl marx, makna kerja yang hakiki adalah menjadi semakin manusiawi, dan dalam proses itu menemukan kebahagiaan. Pekerjaan merupakaan sesuatu yang bersifat antropologis. Pekerjaan adalah sebuah proses pengungkapan diri manusia secara objektif. Dan dengan prose itu manusia mengkongkretisasi dirinya, dia tak lagi menjadi manusia yang abstrak.[3]
C.      KOMUNISME
Komunis sering kali diartikan sama rata, sama rasa. Namun sama disini bukan dilihat secara makna ekonomis, tidak menafikan adanya si kaya dan si miskin. Komunisme sesungguhnya merupakan sebutan bagi fase sosio historis setelah runtuhnya kapitalisme.
Dalam fase kapitalisme, kaum borjuis merupakan motor atau pengarah gerak sejarah. Mereka yang memandu gerak dunia agarselaras dengan kepentingan-kepentingan labanya. Mereka yang menggiring kebijakan-kebijakan politik diputuskan dan dijalankan sesuai dengan tujuan-tujuan ekonominya. Mereka yang mener selaras denggiring agar kebijakan –kebijakan militant kepentingannya. Merekalah yang memandu dunia agar segalanya berpihak pada kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam fase komunis, komunitaslah yang menjadi motor pengarah dari gerak zaman. Dan cita-cita dari komunitas itu sendiri ialah perkembangan segenap fakultas dalam diri manusia demi kepentingan hidup bersama. Marx menulisnya” dan sebagai ganti dari masyarakat borjuis yang lama, dengan struktur kelas dan antagonism antar kelas, muncullah masyarakat paguyuban, masyarakat dimana gerak perkembangan setiap individu menjadi prasarat gerak pra syarat perkembangan masyarakat.”
Pengertian komunis itu sama rata dan sama rata adalah masyarakat komunis tak penting apakah orang kaya atau orang miskin. Karena dalam kerena dalam kehidupan komunitas, semua orng akan saling bergotong royong saling membantu. Manakala pikiran, perasaan dan kehendak manusia berkembang secara selaras, maka sudah jelas kualitas-kualitas berkembang dalam dirinya adalah kualiatas –kualitas yang lebih luhur. Pikiran yang berkembang akan terarah pada pikiran yang luas dan dalam, sementara perasaan yang berkembang, kasih saying, akan semakin luas melampaui ruang dann waktu dan kehendak yang berkembang akan tumbuh kea rah watak yang ksatria yang sanggup menghadapi rintangan mental apapun. Dari susunan individu-individu yng berkembang ini, tak masalah apakah orang itu miskin, kaya, pintar, bodoh, bergelar, ataupun tidak. Semua orang hidup dalam semangat kebersamaan, persaudaraan, dan egaliterianisme. Tidak ada kelas dalam tatanan social, kelas hanya didasarkan pada kesanggupan untuk berkembang, untuk menjadi lebih berkembang. Kebahagian bukan terletak pada kepemilikan benda-benda akan tetapi manfaat diri dalam mengembangkan pikiran, perasaan, dan kehendak untuk menolong orang lain.[4]
D.    MARX TENTANG NEGARA
Dalam tulisan-tulisan marx yang lebih awal, marx telah mengatakan bahwa pemerintahan harus dijalankan oleh dan untuk rakyat. Dan tidak boleh dibiarkan berada di tangan birokrasi yang posisinya lebih tinggi dari masyarakat. Namun marx segera meninggalkan pendiriannya itu. Ia mengatakann bahwa Negara dan birokrasinya tidaklah benar-benar di atas masyarakat. Dalam masyarakat berkelas, menurut marx, Negara adalah alat dari kelas yang berkuasa, kendati Negara terkesan sebagai penengah dari beberapa kepentingan yang bersaing. Kemudian dalam masyarakat kapitalis, Negara adalah alat kelas pemilik modal. Dan ia tidak melayani kepenting setiapa pemilik modal secara merata. Bahkan mungkin mereka mengorbankan beberapa diantara mereka atau member konsensi umumterhadap kelas buruh, namun selama masyarakat itu kapitalis, Negara akan berupaya mempertahankan hubungan-hibungan produksikapitalis. Dan  secara khusus, hak kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi.
Namun negara tidak akan mampu mencegah krisis produksi kapitalis. Menurut marx, krisis yang terus berulang akan mengarah pada meningkatnya konsentrasi kekuasaan atas modal,dan di lain pihak, pada meningkatnya kekuatan-kekuatan organisasi kelas buruh. Pada mampu memenuhi kepentingan dasarnya dengan cara menghancurkan Negara kapitalis itu sendiri. [5]
Kebanyakan filosof social yang lebih awal memandang Negara sebagai lembaga manusia yang terpenting dan berpendapat bahwa bagaimanapun juga Negara itu didasarkan pada perintah illahi, ataupun hakikat manusia yang kekal. Bagi Marx,  tertugas filsafat bukan untuk membenarkan jenis Negara tertentu, tugasnya lebih untuk mengkritik hubungan-hubungan produksi kapitalis yanga ada dan bersifat menindas dan untuk mengungkap karakter filsafat-filsafat social yang cenderung menciptakan kelas-kelas. [6]



[1] yanirahmanarsyi.blogspot.com/.../paham-komunis
[2] Eko p. darmawan, agama itu bukan candu, (magelang: resist book, 2005), hal 107
[3] Ibid, 118
[4] Eko p. darmawan, agama itu bukan candu, hal 124

[5] Hans fink, filsafat social: dari feodalisme hingga pasar bebas (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2003)hal143-144
[6] Ibid. hal 146

1 komentar:

  1. agama tak menjadi persoalan, yang utama adalah nilai dari sebuah agama

    BalasHapus