MENGISLAMKAN NUSANTARA
Pendahuluan
Makalah ini dibuat untuk memenuhi permintaan bedah buku
“Menusantarakan Islam” karya Dr. Aksin Wijaya. Dari judul banyak pertanyaan
muncul di benak. “menusantarakan Islam” seakan lawan dari “mengislamkan
Nusantara”. Mengislamkan nusantara mengandung arti Islamisasi peradaban atau
budaya yang dikenal dengan Nusantara sehingga akhirnya peradaban Nusantara
menjadi bagian peradaban Islam. Adapun Menusantarakan Islam seakan mengandung
arti Islam diakulturasi oleh Nusantara sehingga Islam menjadi melebur atau
mungkin hilang, dan yang ada adalah Nusantara.
Apakah benar Dr. Aksin menginginkan Islam hilang dan yang nampak
dan dominan adalah kultur atau budaya atau peradaban Nusantara, atau sebenarnya
ingin menawarkan suatu metode bagaimana Islam dapat diterima di Nusantara, atau
ada yang lain yang ingin disampaikan? Makalah ini mencoba mengupas buku Dr.
Aksin berjudul “Menusantarakan Islam” ini.
Terminologi Kekerasan
Dr. Aksin menyuguhkan pergumulan Islam dengan agama lain, realitas
sosial, sesama wacana atau penganut agama Islam yang berbeda aliran, dan antara
Islam dan penjajah. Dalam kesimpulannya Islam pada awalnya berwajah damai mampu
berdialog dengan secara damai dengan agama-agama yang telah ada. Dialog damai
ini terjadi ketika Islam masih dalam tahap mencari ruang bereksistensi. Namun
demikian, ketika sudah mapan dan mendominasi, wajah Islam berubah keras. Hal
ini terjadi setelah Islam bergandeng tangan dengan politik. Disebutkan, Abu
Bakar memerangi pembayar Zakat dan pengaku Nabi, Utsman mengukuhkan keluarganya
dalam kekuasaan sehingga akhirnya terbunuh, Ali mempertahankan kekuasaannya
dengan melakukan kekerasan dalam perang Jamal dan Shiffin, Mu’awiyah merebut
kekuasaan politik Ali dengan membunuh para pengikut Ali. Hal yang sama juga
terjadi di Nusantara, ArRaniri dengan penguasa baru menindas Hamzah Fansuri,
Walisongo dengan penguasa Demak melakukan tindakan kekerasan kepada Syekh Siti
Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri terhadap tarekat Syatariah,
Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyul, pemaksaan syariat Islam
seperti label halal-haram, pengesahan Kompilasi Hukum Islam, dan pemberlakuan
undang-pornografi.
Apakah benar ketika sudah mapan wajah Islam berubah keras dan
melakukan tindakan pemaksaan agama? Di sini terlihat kerancuan cara membaca
kekerasan Dr. Aksin. Kekerasan yang dinisbatkan kepada para Khalifah di atas
tidak ada hubungannya dengan pemaksaan agama. Tidak ada peristiwa yang bisa
diungkap oleh Dr. Aksin bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Mu’awiyah telah
menindas orang Kristen, Yahudi dan agama lain karena tidak mau masuk Islam.
Tidak ada juga kisah pelarangan non-muslim melakukan ibadahnya. Begitu juga
konflik antara ArRaniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo dengan Syekh Siti
Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat Syatariah, apalagi
Muhammadiyah, pelabelan halal-halal haram, kompilasi hukum Islam, dan
undang-undang pornografi, tidak ada yang berkaitan dengan pemaksaan agama Islam
kepada non-muslim.
Abu Bakar sebagai pemimpin suatu Negara tentu wajib mengambil
keputusan kenegaraan ketika terjadi pembangkangan kepada Negara. Zakat
merupakan instrumen utama fiskal pada waktu itu, jika penolakan pembayaran
zakat dibiarkan, hal ini tentu akan membuat ketidakstabilan perekonomian.
Utsman memilih keluarganya dalam pemerintahan, tentu ini merupakan keputusan
politis dan managerial beliau. Begitupun juga Ali, sebagai pemimpin Negara
tentu harus memberangus setiap pemberontakan. Tentu aneh jika pemerintah pasrah
dan membiarkan pemberontakan terjadi. Begitu juga Mu’awiyah ketika ingin
mencapai kekuasaannya menggunakan cara militer. Peristiwa-peristiwa ini sangat
politis, dan tentu tidak tepat untuk mengatakan bahwa Islam ketika dominan
melakukan tindakan kekerasan.
Membaca konflik antara Ar-Raniri dengan Hamzah Fansuri, Walisongo
dengan Syekh Siti Jenar, Tarekat Naqshabandiyah dan Padri dengan tarekat
Syatariah juga harus dilakukan secara bijak. Hal ini merupakan permasalahan
internal Islam dan tidak ada hubungannya dengan penindasan Islam terhadap agama
lain. Islam sebagai agama tentu mepunyai konsep-konsep pokok yang mana
dengannya disebut sebagai Islam. Tanpa itu tidak akan bisa dibedakan mana Islam
dan mana yang bukan, mana yang “Haq” dan mana yang “Bathil”, mana yang
“mustaqim” dan mana yang “Dhal”. Ketika terjadi penyimpangan terhadap
konsep-konsep pokok tersebut, maka akan terjadi proses dialogis. Ketika proses
ini mengalami jalan buntu, tentu harus ada kejelasan mana yang sesat dan mana
yang tidak sesat. Hal ini sangat logis, karena logika tidak akan menerima jika semua
benar, atau semua salah.
Dalam konteks Nusantara saat ini, Dr. Aksin memilih beberapa
kelompok Islam untuk kemudian dituduh melakukan tindak kekerasan, dan
memaparkan beberapa kelompok yang dianggap tertindas melakukan tindakan
sebaliknya. Kelompok yang secara langsung disebut adalah FPI dengan tindakan
kekerasannya, Muhammadiyah dengan bid’ah, khurafat, dan tahayyulnya, MUI dengan
fatwa-fatwa sesatnya, PKS , FKAWJ,
FUI, MMI, KPPSI, Laskar Jihad, HTI, dan JI dengan perasaan paling benarnya.
Adapun NU[1]
dianggap moderat walaupun nantinya juga tidak luput dari serangan Dr. Aksin.
Kelompok-kelompok ini dikategorikan sebagai Islam transnasional yang
mana merupakan gerakan Islam beraliran formalis atau skripturalis yang lahir
dari Timur tengah. Atau jika dibandingkan dengan dua kategori berikutnya, unsur
esensial ajarannnya berasal dari Arab, nabinya, tempat diterima wahyunya dan
kitab sucinya.
Adapun kelompok-kelompok yang mendapat pujian “damai” dari Dr.
Aksin adalah JIL, Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah. Ahmadiyah
dikategorikan sebagai Islam Transnasional non-mainstream, di mana unsur
esensial ajarannya lahir dari Negara luar Arab, baik nabinya, tempat menerima
wahyunya, kitab sucinya maupun ajarannya. Adapun Salamullah dan al-Qiyadah
al-Islamiyah masuk kategori Islam lokal, karena unsur esensial ajarannya
seluruhnya bersifat Nusantara, baik nabinya, tempat turun wahyunya, maupun
kitab sucinya (hal 170). Menarik untuk ditanyakan, JIL masuk kategori yang
mana? Siapa Nabinya, apa kitab sucinya.
Lagi-lagi, penisbatan “kekerasan” dan “damai” kepada
kelompok-kelompok di atas sangat rancu dan terlihat hanya sebatas tuduhan dan
bukan berdasarkan fakta-fakta sejarah. PKS
yang dianggap kelompok yang merasa benar sendiri menunjukkan bagaimana cara
berdemo damai. Adapun JIL yang dianggap representasi kelompok Islam “damai”
telah melakukan cacian yang luar biasa terhadap MUI, penginjakan lafadz Allah
yang menyakiti perasaan umat Islam, bahkan Quran yang sangat umat Islam
sucikanpun dihujat. Apakah ini bukan kekerasan? Intinya, siapapun yang umat
Islam yang menonjolkan keberislamannya akan terkena tuduhan kekerasan Dr.
Aksin. Hatta umat Islam yang ingin dapat memilih makanan halal pun tak luput
dari tuduhan tersebut.
Ahmadiyah, Salamullah, dan al-Qiyadah al-Islamiyah yang
dikategorikan Islam lokal menurut Dr. Aksin mendapat penindasan oleh Islam
karena dituduh “sesat”. Bagi umat Islam tentu hal ini sangat jelas, bagaimana
aliran yang beda nabinya, beda ajarannya, beda kitab sucinya dapat dikatakan
Islam? Ibarat sebuah keluarga, kemudian ada orang yang mengaku anggota keluarga
tapi mengatakan berbeda ayah ibu, berbeda aturan keluarga. Apakah salah jika
keluarga tersebut mengatakan kepadanya bahwa kamu bukan bagian keluarga kami.
Analogi lebih jelas, jika dalam Negara Indonesia, kemudian muncul kelompok yang
mengatakan mempunyai ideologi yang berbeda, aturan hukum berbeda, pemimpin yang
berbeda, salahkah Indonesia jika tidak menganggapnya pemberontak dalam Negara,
dan haruskah Indonesia membiarkannya dan mendukungnya. Dari sini tentu muncul
pertanyaan: siapa yang sebenarnya melakukan kekerasan? Kelompok tersebut atau
Indonesia, Ahmadiyah atau Islam?.
Dari sini, kita dapat melihat betapa rancunya pembacaan kekerasan
Dr. Aksin. Menklaim menggunakan pendekatan sejarah dan pengetahuan sosial,
padahal hanya ingin menyatakan bahwa Umat Islam yang meyakini kebenaran agamanya
akan mengantarkan kepada pemaksaan idenya. Seakan-akan umat Islam tidak mempunyai
konsep toleransi beragama dan tidak mungkin dapat menyebarkan kedamaian di muka
bumi. Seakan-seakan Umat Islam tidak pernah mempunyai sejarah yang menebarkan
kedamaian di muka bumi.
Bukan hanya rancu dalam membaca kekerasan, Dr. Aksin juga rancu
dalam memahami Islam. Tidak ada kriteria yang jelas apa yang disebut dengan
Islam.
Framework
Untuk menghilangkan umat Islam yang merasa benar sendiri dan
akhirnya akan mengantarkan kepada pemaksaan ideologi, Dr. Aksin memberikan
tawaran solusi. Pertama adalah otonomisasi
agama dan kedua adalah paradigma nalar nusantara. Yang pertama adalah pelepasan
agama secara epistimologis dari bayang-bayang budaya Arab, aliran, organisasi,
dan lembaga keagamaan mainstream. Maksudnya adalah pertama, individu mempunyai
otoritas penuh dalam membaca gagasan Tuhan dalam agama. Kedua, dibedakannya
agama dengan wacana agama. Agama adalah legislasi Tuhan, adapun hasil
intrepretasi atas agama, baik yang dilakukan Muhammad maupun para sahabat, dan mujtahid
adalah wacana agama. Ketiga mengikut tiga prinsip berfikir: (1) lima prinsip
moral, seperti kejujuran, kemenyeluruhan, kesungguhan, rasionalitas, dan
pengendalian diri; (2) konsep “praduga epistimologis”; (3) “nalar ekslusif”.
Setelah terlepas secara estimologis, Dr. Aksin menawarkan paradigma
nalar Islam Nusantara. Inti dari paradgima nalar Islam Nusantara adalah nalar
Islam Antroposentris-transformatif. Paradigma antroposentris menjadikan manusia
sebagai pusat eksistensi, dan manusia dipandang tujuan hakiki ajaran Islam. Dari
sini, penafsiran dan wacana tafsirnya harus mengarah pada pembebasan manusia
dari kekangan paradigma lama yang acapkali mengebiri manusia demi memberikan
otoritas penuh pada Tuhan. Adapun nalar Islam trasnformatif berarti suatu nalar
Islam yang bercorak praksis dan bertujuan menggerakkan manusia secara aktif dan
revolusioner dalam menjalani kehidupan di dunia fana’ (hal. 255).
Dengan nalar Islam Nusantara ini, pesan agama yang terdapat dalam
kitab suci harus dilihat dengan menggunakan kacamata manusia. Hal ini dilakukan
agar dapat ditemukannya pesan yang berbicara mengenai manusia, dan apa yang
diberikan agama pada manusia (hal. 258). Metode pembacaan manusiawi terhadap
agama ini disebut Hermenuetika (hal. 260). Tindak ingin menghilangkan tafsir
dan takwil, Dr. Aksin menawarkan pemaduan ketiganya (hal. 261).
Kalau diperhatikan secara seksama tawaran solusi di atas, kita
dapat melihat bahwa sebenarnya Dr. Aksin sedang menawarkan faham relatifisme,
faham humanisme, dan metode pembacaan Hermeneutika. Otonomisasi agama intinya
adalah bagaimana seorang Muslim tidak merasa paling benar dan harus melepas
dari otoritas apapun karena kebenaran itu adalah relatif. Inti nalar
antropesentris adalah humanisme. Adapun nalar transformatif hanya bisa
dilakukan dengan hermeneutika.
Penutup
Islam sebagai Agama telah sempurna dan disempurnakan sejak
diturunkannya. Konsep-konsep pokok sebuah agama seperti konsep Tuhan, agama,
Ibadah, manusia dan lainnya telah jelas dalam Islam sedari awalnya. Para ulama
Ulama sebagai penerus para nabi kemudian hanya menjelaskan konsep-konsep
tersebut tanpa merubah konsep awalnya. Maka dalam Islam telah jelas mana yang
Islam dan mana yang tidak Islam, mana yang “haq” dan mana yang “bathil”, mana
yang “mustaqim” dan mana yang “dhalal”. Memaksakan Islam mengakui kebenaran di
luar Islam merupakan hal konyol. Sebagaimana Islam juga tidak memaksakan
siapapun untuk menerima Islam sebagai kebenaran “lakum dinukum wali al-din”;
“la ikraha fi al-din”.
Dari sini, memaksakan lagu lama Nisetzche tentang relatifisme dan
nihilisme kepada Islam merupakan tindakan “kekerasan”. Jargon yang absolut
hanya Allah, tidak ada yang tahu kebenaran selain Allah, maka Islam yang
dibangun Nabi Muhammad diteruskan kemudian oleh para Ulama adalah hanya wacana
Islam yang relatif merupakan pernyataan membingungkan. Islam menjadi relatif,
tidak mempunyai kriteria keIslaman, lalu bagaimana umat Islam bisa berIslam.
Ujung akhirnya adalah agama baru yang disebut “humanisme”,
segalanya tentang manusia, manusia menggeser Tuhan sebagai pusat dan ukuran
segala sesuatu. Maka tidak mengherankan kalau dalam fiqh dikatakan bahwa Syariat
bukan untuk Tuhan tapi untuk manusia, maka maslahah manusia lebih
penting dari pada Syariat, Syariat harus tunduk kepada kemanusiaan,
akhirnya teks harus tunduk kepada konteks. Maka tidak heran kalau Muslim
liberal menghalalkan kawin antar sejenis. Karena manusia telah berubah dan
menginginkan hal tersebut. Konteks telah berubah, kemanusiaan telah berubah,
teks harus menyetujui dan merestui, karena manusia adalah segala-galanya.
Lagi-lagi, hal ini tidak mungkin dapat dilakukan kepada Islam,
selama Umat Islam masih menggunakan nalar Islam yang dibangun oleh Nabi
Muhammad dan para Ulama. Tafsir dan takwil yang dipergunakan untuk memahami
Al-Quran tidak akan dapat menerima faham relatifisme dan humanisme tersebut.
Untuk itu, perlu digunakan metode baru yang dapat membongkar Quran, sehingga dapat
tunduk kepada keinginan dan hawa nafsu manusia. Metode ini adalah hermeneutika.
Lengkap sudah tawaran Dr. Aksin untuk menjadikan Umat Islam seperti Umat
Kristen di Eropa, di mana ajaran Kristen sudah tidak diendahkan, dan Ateisme
berkembang dengan pesat. Akhirnya, menusantarakan Islam bukan hanya akan
membuat Islam hilang dan digantikan oleh Nusantara, tapi akan membuat
Nusantarapun akan hilang, dan tergantikan dengan Nusantara yang terbaratkan.
Islam agama yang sudah sempurna, Islam menjamin maslahah manusia
selama manusia tunduk dan pasrah sebagai hamba dan khalifah Allah. Dengan
berpasrah dan melakukan syariat Islam manusia akan selalu bergerak dalam
koridor fitrah penciptaannya dan di situlah kemaslahatan berada. Maka saat ini
tidak mengherankan, apabila banyak cendekiawan Muslim yang menyelesaikan doktor
bidang ekonomi di Barat, menemukan banyaknya problem kemanusiaan pada teori dan
sistem ekonomi barat. Sehingga, mereka beramai-ramai ingin kembali kepada
Islam, untuk kemudian dapat mengembangkan ilmu ekonomi yang dapat menjadi
maslahah bagi manusia dan bukan sebagian kecil manusia. Akhirnya yang tepat
bukan menusantarakan Islam, tapi mengIslamkan Nusantara.
[1] Manarik juga dicatat bahwa Muhammadiyah disandingkan dengan NU
sebagai kelompok Moderat walaupun di tempat lain disebut melakukan tindakan
kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar